Menjadi Perempuan Tunarungu Tanpa Batas

KOMPASfemale
KOMPASfemale
Menjadi Perempuan Tunarungu Tanpa Batas
Dec 22nd 2011, 19:02

KOMPAS.com - Di Usia muda, Angkie Yudistia, perempuan 24 tahun kelahiran Medan, 12 Juni ini punya banyak pencapaian dalam hidupnya. Ia terus memotivasi dirinya mewujudkan impian tanpa batas menaklukkan keterbatasan.

Angkie berhasil menyelesaikan S2 Marketing Communication di London School of Public Relations Jakarta. Pernah menjadi finalis Abang None 2008 Jakarta Barat. Ia juga terpilih sebagai The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008. Juga menjadi Miss Congeniality Nature-e. Kini, Angkie berkarier sebagai Corporate Public Relations, mendirikan Thisable Enterprise, dan menerbitkan buku perdananya berjudul Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas.  

Prestasi ini mungkin saja dimiliki siapa saja. Namun menjadi lebih istimewa ketika mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mampu mewujudkan impian dengan tindakan. Mampu berprestasi, sekaligus menunjukkan bahwa harapan yang dikuatkan dengan motivasi dan tindakan dapat menjadikan seseorang tampil setara, tanpa batas. Angkie Yudistia membuktikannya. Perempuan tunarungu Angkie, anak bungsu dari dua bersaudara, terlahir sama seperti anak pada umumnya. Ia pun tumbuh besar sama seperti anak-anak seusianya. Tak ada yang berbeda dari Angkie sejak ia bayi hingga usia 10 tahun.

Pada usia 10 inilah, Angkie kemudian merasa menjadi berbeda lantaran diperlakukan tak sama, karena ada gangguan pada pendengarannya.  

"Saya sering dimarahi guru karena dianggap tak mendengarkannya. Saya juga diledek teman karena dianggap lemot. Saya sering pulang ke rumah dan menangis di kamar, dengan ibu saya yang selalu menemani dan menenangkan," kata Angkie mengisahkan pengalamannya, saat peluncuran buku perdananya di Ciputra World Marketing Gallery, Jakarta, Selasa (20/12/2011) lalu.

Kepada Kompas Female, Indriarty Kaharman, ibu dari Angkie, menjelaskan, Angkie mulai merasakan gangguan di telinga pada usia 10 saat tinggal di Indonesia Timur. Ayah Angkie bekerja pada perusahaan BUMN yang mengharuskan keluarganya berpindah setiap dua tahun.

"Saat itu, ketika kami tinggal di Indonesia Timur tak banyak dokter yang bisa mengobati gangguan telinga dan menjelaskan apa penyebabnya. Apakah ada hubungannya dengan penyakit Malaria yang menjadi epidemi di sana atau tidak, saya tidak mendapatkan jawabannya. Akhirnya kami bawa Angkie berobat ke Jakarta, dan Angkie divonis tunarungu," jelas Indriarty seusai peluncuran buku.

Meski perilaku diskriminasi seringkali dialami, Angkie, juga ibunya, merasa ia tak berbeda dengan orang lain pada umumnya. Pola pikir ini mengalir kuat dari orangtuanya, yang kemudian diresapi Angkie hingga dewasa. Ia merasa dirinya tak berbeda, memiliki kesempatan yang sama dengan yang lainnya, hanya saja memang pendengarannya terganggu.

"Telinga kiri Angkie mengalami gangguan 90 persen, telinga kanannya 70 persen. Angkie menggunakan alat bantu dengar yang nyaman baginya sejak usia 15 tahun. Ia mulai belajar bahasa bibir dan isyarat karena semakin bertambah usia, pendengarannya semakin berkurang. Angkie bisa bicara lancar karena ia sempat mengenal bahasa sebelum akhirnya divonis tunarungu," jelas Indriarty.

Tak mengenal batas Memiliki kemauan keras, punya banyak cita-cita, mudah bergaul, itulah karakter yang didapati dalam diri Angkie, menurut pandangan ibunya.

Angkie memang memiliki keterbatasan dalam pendengaran, namun ia melangkah tanpa batas mewujudkan apa pun yang diinginkannya. Salah satunya menerbitkan buku untuk memotivasi orangtua dengan anak tunarungu, juga untuk penyandang tunarungu, dan pembelajaran bagi semua orang untuk lebih menghargai perbedaan, menyikapinya dengan cara yang bijak dan santun, bukan membeda-bedakan mereka yang ternyata mampu meski terbatas secara fisik.

"Setiap orang punya harapan. Harapan itu bisa padam dengan sendirinya, namun juga bisa dipadamkan oleh orang lain. Saya terlahir biasa, sama seperti anak-anak lainnya. Harapan saya juga sama seperti yang lainnya," kata Angkie yang ingin mengubah persepsi masyarakat mengenai tunarungu melalui bukunya.

Menurut Angkie, keterbatasan pendengaran yang dialami penyandang tunarungu kerapkali memunculkan berbagai bentuk diskriminasi. Meski memiliki harapan yang sama dalam hidup, penyandang tunarungu kerapkali padam harapannya karena perlakukan yang tak semestinya.

"Tak mudah menjadi perempuan tunarungu. Masalah yang banyak dialami penyandang tunarungu adalah kesulitan bekerja, karena tidak bisa menerima telepon misalnya. Tapi saya percaya, meski satu pintu tertutup akan ada pintu lain yang terbuka. Saya berhasil bekerja di beberapa perusahaan. Penyandang tunarungu juga bisa menghadapi kompetisi yang keras di dunia kerja," tegasnya.

Mindset Melalui bukunya, Angkie ingin menyampaikan pesan, memiliki anak tunarungu bukanlah aib yang harus disembunyikan. Namun justru keluarga mencari jalan keluar untuk membantunya mengatasi keterbatasan, dan menembus batas melakukan apa yang ia mampu.

Anak tunarungu memiliki kemampuan yang sama dengan anak-anak lainnya. Ia tidak sakit atau cacat. "Orang-orang dengan disabilitas termasuk penyandang tunarungu perlu dirangkul, bukan diperlakukan berbeda," jelas Angkie.

Kepedulian terhadap orang dengan keterbatasan inilah yang menjadi misi Angkie menulis dan menerbitkan bukunya. Karena dukungan dari berbagai pihak lah yang menyalakan kembali harapan yang padam, bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik ini.

Angkie sendiri merasa termotivasi dan diperlakukan sama ketika menjadi mahasiswa komunikasi. Perlakuan setara inilah yang membuatnya tampil percaya diri, berbicara di depan publik.

"Angkie memilih sendiri untuk kuliah komunikasi. Saya inginnya Angkie kuliah jurusan MIPA, yang tak perlu banyak berkomunikasi dengan orang lain. Karena saya khawatir bagaimana nanti ia akan berhadapan dengan orang lain, khawatir bagaimana perlakukan orang terhadapnya nanti," aku sang ibu.

Namun kekuatan dalam diri Angkie justru menjawab kekhawatiran sang ibu dengan semua prestasi yang ditorehnya. Angkie dikenal mudah bergaul, aktif, dan percaya diri dalam berkomunikasi. Keterbatasan mendengar bukan menjadi penghalang baginya untuk melanjutkan sekolah komunikasi hingga tingkat S-2.

Melalui bukunya, Angkie berharap dapat memberikan isnpirasi bagi orangtua, penyandang tunarungu, siapa pun yang mau peduli untuk menyikapi disabilitas tanpa memadamkan harapan para penyandangnya.

"Ke depan saya ingin bekerja sama dengan pihak NGO, pemerintah, corporate, untuk memberdayakan penyandang tunarungu. Melalui buku ini saya juga memberikan tips trik agar penyandang tunarungu diterima bekerja di perusahaan, bagaimana berhadapan dengan human resources. Saya juga ingin mensosialisasikan mengenai disabilitas juga bagaimana agar penyandang tunarungu dapat sejahtera dan mandiri," katanya.

Dalam pandangan Angkie, penyandang tunarungu, meski terbatas secara fisik (pendengaran), mereka memiliki jiwa wirausaha yang besar. Melalui bukunya, ke depan, Angkie berniat mendorong kemandirian berwirausaha untuk penyandang tunarungu yang sulit menembus tembok besar di perusahaan.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post