Rabu, 28 Desember 2011 | 14:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Diare yang pernah dialami Arya, 4 tahun, membuat Widia, ibunya, kini lebih berhati-hati. Perempuan 32 tahun itu tidak ingin kejadian yang membuat Arya berak-berak sampai berat badannya merosot terulang lagi. Setiap sebelum makan, warga Kebon Jeruk, Jakarta, ini harus memastikan Arya telah mencuci tangan.
"Apa saja bisa dipegang, termasuk barang-barang yang kotor. Karena itu sebelum makan harus dipastikan dia cuci tangan," kata Widya. Namun selama ini ia merasa cukup bila anak tunggalnya itu mencuci tangan dengan air saja, tanpa sabun.
Menurut Direktur Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan dr. Kirana Pritasari, pembiasaan mencuci tangan pakai sabun pada anak-anak sangat penting dilakukan orang tua. Selain sebagai bentuk pembiasaan pola hidup yang sehat, mencuci tangan pakai sabun juga menghindarkan kemungkinan anak-anak terkena penyakit yang ditularkan melalui kuman.
"Dengan mencuci tangan pakai sabun, sejumlah penyakit infeksi bisa kita cegah," kata Kirana dalam diskusi yang menyoalkan pentingnya cuci tangan pakai sabun pada anak-anak, Kamis lalu di Plaza Bapindo, Jakarta. Selain Kirana, hadir juga sebagai pembicara Tb Rachmat Sentika, dokter spesialis anak Rumah Sakit Bintaro.
Menurut Kirana, penyakit yang bisa dicegah penularannya dengan mencuci tangan pakai sabun antara lain hepatitis A, disentri, diare, tipus, radang tenggorokan, masalah saluran pernapasan, dan penyakit lainnya. Kebiasaan sehat itu dilakukan pada lima waktu, yaitu mandi menggunakan sabun, cuci tangan pakai sabun sebelum makan pagi, sebelum makan siang, sebelum makan malam, dan setelah dari toilet.
Mencuci tangan menggunakan sabun adalah kegiatan yang mudah, tapi berdampak penting bagi kesehatan. Sayangnya tak banyak orang yang mempraktekkan kebiasaan ini. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2010 menunjukkan persentase rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat dengan kategori baik secara rata-rata nasional hanya 35,68 persen. Sedangkan persentase penduduk yang berperilaku benar dalam cuci tangan pakai sabun secara rata-rata nasional hanya 24,48 persen.
Di sisi lain, penyakit yang sering menyerang anak usia sekolah (6-10 tahun) pada umumnya berkaitan dengan pola hidup bersih dan sehat, seperti cuci tangan pakai sabun. Studi yang dilakukan Curtis V. Cairncross, peneliti asal Inggris, menunjukkan bahwa mencuci tangan pakai sabun dapat menurunkan risiko diare hingga 47 persen.
Berkaitan dengan pembiasaan sejak kanak-kanak, Rachmat Sentika menjelaskan pembentukan kebiasaan baru, seperti kebiasaan cuci tangan pakai sabun, secara medis sudah dikaji secara ilmiah. Makin sering suatu fenomena tertangkap oleh pancaindra, responsnya makin cepat dan lama tersimpan dalam memori, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan. "Karena itu berikan informasi sejelas mungkin, sering, dan mudah diingat, serta dilakukan secara kontinu hingga menjadi kebiasaan dan budaya," katanya.
Teori dan penelitian mengenai hal itu, salah satunya, diungkapkan Maxwell Maltz dalam buku Psyco-Cybernetics. Di situ ia menjelaskan bahwa untuk membentuk suatu kebiasaan baru pada seseorang dibutuhkan waktu minimal 21 hari secara terus-menerus tanpa putus. "Kenapa 21 hari? Karena selama waktu itu sisi kognitif, afektif, dan psikomotorik bisa dibentuk," kata Rachmat.
Selain berdampak pada kesehatan, cuci tangan pakai sabun juga membuat tingkat kehadiran siswa ke sekolah lebih tinggi karena terhindar dari sakit. Penelitian di luar negeri menunjukkan kebiasaan itu mengurangi absensi sekitar 42 persen. Di Indonesia, hasil penelitian lembaga swadaya masyarakat Spektra terhadap 550 siswa di 11 kabupaten di Jawa Timur, dengan perilaku cuci tangan pakai sabun terutama sebelum makan, dapat menurunkan tingkat absensi anak akibat sakit diare hingga 11 persen.
AMIRULLAH