KOMPAS.com - Angkie Yudistia, anak bungsu dari dua bersaudara ini lahir di Medan, 12 Juni 1987, sama seperti kebanyakan anak lainnya. Namun di usia 10, putri dari Indriarty Kaharman dan Hadisanyoto ini divonis tuna rungu. Bukan perkara mudah bagi orangtua untuk menerima kenyataan seperti ini, terutama karena anaknya lahir normal dan tak berbeda seperti yang lainnya. Namun, kedua orangtua Angkie, menerima, menjalaninya dengan berserah dan berpikir positif, sambil terus mencari solusi agar Angkie dapat tumbuh dan berkembang, setara, seperti anak-anak lainnya.
Sikap positif yang dikuatkan dengan sikap berserah dari orangtua, membantu Angkie untuk gigih mengejar mimpi-mimpinya. Meski memiliki keterbatasan dalam pendengaran, Angkie terbukti sukses menyelesaikan pendidikan di bidang komunikasi yang mengharuskannya tampil berbicara di depan umum. Ia meraih gelar S2 Marketing Communication di London School of Public Relations Jakarta, dan baru saja menerbitkan buku perdana, Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas, salah satu impiannya.
"Angkie punya kemauan kuat. Ia punya banyak mimpi. Terkadang saya khawatir ia akan kecewa karena tak bisa mewujudkan mimpi-mimpinya karena keterbatasannya. Sama seperti saya khawatir sewaktu Angkie memilih kuliah komunikasi yang mengharuskan ia banyak bicara di depan umum. Namun ia punya tekad kuat. Saya hanya bisa berdoa, berserah, menjalaninya, dan mendukungnya," jelas Indriarty kepada Kompas Female di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sikap berserah dan memberikan dukungan apa pun kepada Angkie agar tumbuh layaknya anak tanpa keterbatasan sudah dilakoni Indriarty sejak mengetahui anaknya "istimewa". Saat peluncuran bukunya, Angkie bercerita, ia sedih setiapkali pulang sekolah karena ledekan teman-temannya yang menganggap ia tulalit. Gangguan pada pendengaran membuatnya kerap tak dapat mengikuti pembicaraan teman-teman secara normal. Ia pun kerap tak mendengar ketika guru memanggilnya di kelas. Untuk memanggil penderita tuna rungu, Anda harus menyentuhnya, bukan dengan berteriak, kata Angkie yang seringkali menerima perlakuan diskriminatif karena ia seorang tuna rungu.
Pengalaman tak menyenangkan menjadi tuna rungu saat usia beranjak remaja, membuat dunia anak berubah seketika. "Ibu yang selalu menenangkan saya, dengan selalu berkata, 'biarkan saja, kan, mereka tidak tahu'," kata Angkie.
Indriarty berusaha membesarkan hati Angkie atas perlakuan diskriminatif yang diterimanya sejak usia 10. Meski begitu, ia tak menganggap Angkie berbeda dengan anak lainnya. Ia tak menyekolahkan Angkie di Sekolah Luar Biasa, tapi justru membantu Angkie tumbuh dan berkembang normal seperti anak-anak lainnya di sekolah biasa. Dengan alat bantu pendengaran, Angkie pun tak mengalami kesulitan dalam belajar. Justru kesulitan kerapkali dialami dari perlakuan dan pandangan keliru dari orang-orang di sekitarnya. Mereka yang kerapkali membedakan seseorang karena merasa "berbeda" walaupun sebenarnya ia mampu dan setara seperti yang lainnya.
Tak hanya membedakan anaknya, Indriarty dan suami, juga mendorong Angkie untuk selalu mengejar cita-citanya. Mengetahui anaknya memiliki kemauan besar, Indriarty dan suami membekali kemandirian. "Kami selalu mengajarkan ke Angkie untuk mandiri. Kalau ingin sesuatu harus mau berusaha sendiri, tidak selalu mengandalkan orang lain," jelasnya.
Kemandirian yang ditanamkan, justru membuat Angkie tumbuh sebagai anak dan perempuan muda yang bertanggung jawab atas dirinya. Meski memiliki kekurangan dalam hal pendengaran, potensi dalam dirinya semakin tersalurkan dengan baik berkat kepercayaan diri, kemandirian, berpikir dan bersikap positif, serta dukungan dari keluarga terutama orangtua.
Pengalaman Indriarty dan Hadisanyoto mengasuh anak penderita tuna rungu menunjukkan bagaimana pengasuhan yang tepat justru melahirkan sosok istimewa. Penerimaan orangtua dan cara tepat memperlakukan anak sesuai kebutuhannya, bukan justru menyangsikan segudang potensi hanya karena ia memiliki satu kekurangan dalam diri, justru melahirkan sosok istimewa yang dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
Seperti Angkie, perempuan tuna rungu yang tak pernah membatasi dirinya, selalu menyalakan kembali lilin harapan yang seringkali ditiupkan orang lain, dan ia tak pernah meniupkan sendiri lilin harapannya untuk berkembang setara seperti perempuan lainnya. Dukungan dan sikap positif orangtua ada di baliknya.