KOMPAS.com - Mungkin Anda pernah bingung memilih pakaian yang akan dikenakan untuk menghadiri satu acara? Cobalah tengok di sisi bawah undangan. Di situ biasanya tertera "dress code" atau aturan berbusana. Aturan ini bisa membantu.
Dress code, dalam kamus bahasa Inggris Oxford, diartikan sebagai peraturan yang menyebutkan dengan spesifik tata cara berpakaian yang disarankan untuk pergi ke sekolah, kantor, restoran, dan lain-lain. Definisi lain, seperti terdapat dalam Kamus Mode Indonesia, adalah aturan berbusana, baik tertulis maupun lisan, yang diterapkan di tempat-tempat tertentu atau dalam kesempatan/peristiwa tertentu, seperti pesta dan peringatan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata dress code sering kali kita jumpai dalam undangan, baik yang sifat acaranya resmi maupun personal. Aturan berpakaian yang terdapat dalam undangan tersebut biasanya menggunakan kata-kata yang sudah umum digunakan dalam dunia busana, seperti cocktail, kasual, white tie, dan black tie, yang disesuaikan dengan suasana acara.
Kode-kode ini makin bervariasi, bergantung pada jenis acara dan keinginan si pengundang. Pada bulan Ramadhan tahun lalu, misalnya, kaftan menjadi busana favorit. Adapun cheongsam, baju dengan ciri kerah tinggi, identik dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Selain itu, ada pula aturan busana yang didasarkan pada materi kain tertentu, seperti batik, tenun, atau denim, ataupun yang menggambarkan sifat, seperti elegan atau glamor.
Bagi penyelenggara acara, menentukan aturan berbusana bertujuan memunculkan nuansa khusus dalam acaranya. Sementara bagi yang diundang, aturan ini mempermudah menyesuaikan busana dengan tema acara.
Penciptaan suasana Perancang Sebastian "Seba" Gunawan selalu mencantumkan aturan berbusana sejak pertama kali menggelar peragaan busana tunggal pada tahun 1993. Bagi Seba, dengan menetapkan dress code, dia bisa menciptakan suasana yang dinginkan.
"Aturan yang saya tentukan tidak harus sesuai dengan tema koleksi busana pada acara peragaan. Saya hanya ingin mendapat nuansa yang sama dari tamu," kata Seba.
Khusus untuk peragaan busana, tamu yang hadir biasanya dengan sadar mengenakan busana rancangan desainer bersangkutan. "Itu sebenarnya aturan tak tertulis, tetapi sudah biasa dilakukan untuk menghormati perancang yang menggelar acara. Apalagi, tamu yang datang biasanya berasal dari komunitas si perancang sendiri," kata pengamat mode Muara Bagdja.
Bagi yang tak memiliki pakaian karya perancang, Muara menyarankan agar mereka tetap mengikuti aturan yang ditentukan. "Kalau tak bisa mengikuti dress code secara seutuhnya, cukup memberi sentuhan yang sesuai," kata Muara.
Sebagai perancang, Seba memberi petunjuk lain. Busana sebaiknya tak hanya disesuaikan dengan peraturan yang tertera dalam undangan, tetapi juga dengan tempat acara. "Busana bernuansa putih untuk acara di hotel, misalnya, akan berbeda dengan nuansa putih yang acaranya diselenggarakan di taman. Jadi, perhatikan juga di mana acara tersebut digelar," ujar Seba memberi contoh.
Agar tak "melanggar" aturan berbusana, tak jarang seseorang harus mendadak membeli pakaian untuk menghadiri acara tertentu. Direktur Komunikasi Hotel Mulia, Romy Herlambang, misalnya, beberapa kali harus membeli atau meminjam baju karena tak memiliki pakaian sesuai dengan aturan yang ditetapkan pengundang.
"Misalnya, aturan warna merah muda untuk acara bertema Valentine. Warna itu bukan kesukaan saya. Jadi, saya harus keliling mal dulu mencari baju warna merah muda, tetapi yang tidak terlalu merah muda," tutur Romy.
Selain nuansa pakaian merah muda dan gaun malam, Romy juga pernah menghadiri acara dengan berbagai aturan berbusana, mulai gaun malam, kebaya, hingga pakaian olahraga. "Saya selalu mengikuti aturannya untuk menghormati yang punya acara," kata Romy.
Maraknya penggunaan aturan berbusana di Indonesia, dikatakan Muara, dimulai dari acara resmi yang diselenggarakan pemerintah atau perusahaan. Peraturan ini kemudian diterapkan pada acara yang sifatnya lebih personal, seperti ulang tahun, pernikahan, dan arisan.
Aturan ini lantas menjadi keharusan ketika bermunculan majalah-majalah waralaba berkonsep gaya hidup yang memuat foto-foto di acara pesta. Para tamu, yang tadinya enggan berhadapan dengan fotografer, saat ini justru dengan percaya diri bergaya di depan kamera di area wall of fame yang disediakan penyelenggara acara.
(Yulia Sapthiani)
Sumber: Kompas Cetak