Selasa, 07 Februari 2012 | 10:44 WIB
TEMPO.CO, London - Buat para lelaki yang suka merokok, risiko terkena impotensi sepertinya sudah tidak mempan lagi untuk memperingatkan mereka. Sebagian perokok bahkan menganggap lebih baik tidak makan dari para tidak merokok. Padahal, bukan saja berbahaya bagi kesehatan paru, jantung, dan pembuluh darah, merokok juga mampu mengurangi fungsi kerja otak sebagai organ tubuh utama manusia.
Sebuah penelitian di Inggris baru-baru ini memberi hasil cukup menggemparkan. Pada pria yang aktif merokok, kemampuan otak dan kognitif mereka akan berkurang. Akibatnya, mereka lebih cepat menjadi tua 10 tahun dari umur sebenarnya. Bahkan karena merokok, seorang pria bisa terkena demensia (penyakit pikun) di umur 45 tahun.
"Selama ini rokok hanya dianggap berisiko menimbulkan penyakit pernapasan, kanker, dan penyumbatan pembuluh darah. Padahal ada efek lain yang lebih nyata dan muncul, yaitu penuaan dini bagi pria di umur 45 tahun," ujar Severine Sabia, peneliti dari Universitas London yang penelitiannya ini dipublikasikan di Arsip Umum Jurnal Psikiatri.
Menurut penelitian ini, dampak penuaan dini justru tidak terjadi pada perempuan. Sebab menurut Sabia, dari hasil penelitian yang didapat data, jumlah porsi merokok perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Sabia menggunakan 7.200 subjek perokok, baik laki-laki maupun perempuan berusia pertengahan hingga usia tua. Ia dan timnya memberi penilaian terhadap perokok yang merokok lebih dari 25 tahun dan perokok yang merokok lebih dari 10 tahun. Hasilnya, mereka menemukan proses penuaan dini pada laki-laki yang terjadi lebih cepat dibandingkan perempuan.
"Dari hasil penelitian, perokok laki-laki yang berusia 50 tahun memiliki kemampuan kognitif lemah dan sama dengan kemampuan kognitif laki-laki berumur 60 tahun yang tidak pernah merokok," ujar Sabia. Ia juga memaparkan, laki-laki yang berhenti merokok 10 tahun sebelum tes kognitif dilakukan tetap memiliki risiko penuaan dini, terutama pada fungsi eksekutif yang meliputi berbagai proses kognitif yang kompleks.
REUTERS | CHETA NILAWATY