KOMPAS.com - Rambut botak seringkali membuat pria tidak percaya diri. Kebotakan biasanya terjadi karena rambut-rambut rontok karena faktor usia, pengaruh makanan, atau pikiran. Agar tidak mengurangi keelokan penampilannya, pria menggunakan obat untuk mengatasi rambut rontok.
Penelitian para ahli dari George Washington University mengindikasikan, para pria agar berhati-hati menggunakan obat untuk rambut rontok. Pria yang menggunakan obat rambut rontok Finasteride (Propecia) mengalami peningkatan risiko gejala depresi dan keinginan bunuh diri.
Sebelumnya, pada tahun 2011, ada penelitian yang menemukan bahwa Finasteride menyebabkan disfungsi seksual jangka panjang. Impotensi dan masalah seksual terkait, kata para peneliti, merupakan gejala paling umum efek samping obat ini. Pada beberapa pengguna, efek samping tidak dapat dihindari. Dua puluh persen dari para responden melaporkan mengalami disfungsi seksual lebih dari enam tahun setelah mereka berhenti memakai obat ini.
Studi terbaru ini, yang telah dipublikasikan dalam Journal of Clinical Psychiatry, berawal dari temuan 61 mantan pengguna Finasteride yang mempunyai pengalaman kelainan seksual selama lebih dari tiga bulan. Di antara para responden, 11 persen mengalami depresi ringan, 28 persen mengalami depresi sedang, dan 36 persen persen gejalanya berat. 44 persen lainnya dilaporkan memiliki keinginan bunuh diri.
Sebagai perbandingan, peneliti mengelompokkan 29 orang yang mengalami kerontokan rambut tetapi tidak pernah memakai Finasteride. Sebanyak 10 persen dari mereka mengalami gejala depresi dan 3 persen dilaporkan memiliki keinginan bunuh diri. Semua pria ini dalam kondisi sehat, tidak memiliki catatan disfungsi seksual, dalam pengaruh obat medis juga kondisi kejiwaannya sehat.
"Riset ini menjadi sesuatu yang penting ketika Anda melihat seseorang berkeinginan bunuh diri. Berapa banyak kematian lagi yang perlu dipertimbangan akibat pengobatan sehingga membat Anda harus merubah label peringatan? Obat akan ditarik dari pasar walaupun hanya sedikit pasien yang mati," kata pimpinan penelitian Dr. Michael Irwig, asisten profesor jurusan Endokrinologi di George Washington University School of Medicine and Health Sciences.
Irwig tertarik melakukan penelitian finasteride setelah ia mendapati beberapa mantan pasiennya mengeluh mengalami disfungsi seksual jangka panjang. Setelah melakukan pencarian, ia menemukan lebih banyak pria melaporkan masalah serupa.
"Penelitian berawal dari keluhan ini, dan selama penelitian berlangsung banyak responden mengatakan mereka mengalami depresi dan masalah ingatan juga perubahan mental lainnya. Tentunya disfungsi seksual berhubungan erat dengan depresi. Tapi, ada sesuatu yang lain terjadi terkait kerja Finasteride yang menghambat enzim di otak," jelas Irwig.
Ia menduga, perubahan emosional dan mental seseorang setelah menggunakan obat ini erat kaitannya dengan pengaruh Finasteride yang bekerja di otak. Dalam klasifikasi obat, Finasteride dikenal sebagai 5 - alpha yang menghambat produksi hormon tertentu.
Perusahaan farmasi Merck selaku produsen Propecia menyatakan bahwa obat tersebut telah terbukti efikasi dan keamanannya, serta melampirkan petunjuk penggunan pada label produk. Di label obat juga terdapat keterangan berisi manfaat beserta risikonya. "Kami menganjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter apa bila ada keluhan mengenai kesehatannya atau mengenai penggunaan Propecia," ungkap salah seorang jurubicara Merck.