KOMPAS.com - Sebelum menikah, Anda berdua sepakat tinggal di tempat tinggal sendiri. Tanpa diduga, ayah suami Anda tiba-tiba meninggal dunia. Sebagai anak, suami tak mungkin membiarkan ibunya gamang dan tinggal sendiri. Alhasil, ia memboyong Anda ke rumah orangtuanya.
"Ini kejadian yang enggak diperkirakan. Tapi, mesti dibicarakan apakah Anda berdua akan tinggal selamanya di rumah ibu si suami atau sampai ibunya stabil kembali?" ujar psikolog keluarga dan anak, Anna Surti Ariani, Psi.
Perubahan memang mungkin terjadi di tengah jalan, termasuk soal harapan. Di saat seperti ini pula, cara berkomunikasi pasangan diuji. Pria harus paham bahwa perempuan lebih mengutamakan perasaan dan menghargai proses. "Ia ingin didengarkan," jelas psikolog yang aktif "berkicau" di Twitter ini. Sementara pria lebih mementingkan hasil dan cenderung memberikan solusi. "Padahal sebenarnya si perempuan hanya ingin didengarkan," ujarnya.
Maka, ketika Anda menanyakan kepastian akan perubahan kesepakatan, jangan memaksakan pendapat sehingga pasangan melakukan sesuatu yang sebenarnya tak ia sukai.
Sadar dan sabar
Menurut Nina, siap menikah berarti siap juga menerima segala macam perubahan. "Makanya, lakukan pacaran yang ideal. Bukan hanya peluk-pelukan," ujarnya setengah bercanda. Saat masih berpacaran, seharusnya, Anda berdua mencari tahu kepribadian masing-masing, "Apakah Anda berdua akan cocok satu sama lain seumur hidup?" tambahnya.
Perbedaan harapan sebenarnya sangat wajar meski kesepakatan sudah dibuat. "Pernikahan yang paling bahagia pasti memiliki perbedaan harapan juga," ujar Nina. Yang membedakan adalah, maukah Anda berdua bertoleransi dan berkorban? Dan, apakah Anda berdua mampu melakukan kesepakatan yang sudah diperbaharui?
Anda berdua juga harus siap menerima konsekuensi jika harus mengalah. "Kadang-kadang kita harus mengikuti pasangan, atau malah dua-duanya enggak terpenuhi keinginannya," jelas Nina. Terakhir, dan yang paling penting, jalani pengorbanan dengan sadar dan sabar. "Dengan cara ini, Anda berdua bisa bahagia, kok!" tegas Nina.
Jika disimpulkan, maka idealnya setiap pasangan memiliki komunikasi yang sehat sehingga toleransi di antara keduanya bisa tercapai. Ketika harapan tak terpenuhi, percayalah, pasti ada makna atau ada sesuatu di balik semua itu.
Pihak ketiga
Ketika Anda berdua tidak bisa menemukan solusi, mintalah bantuan dari orang yang dekat dengan suami atau istri. Misalnya meminta anggota keluarga besar suami untuk berbicara dengannya. Namun, pastikan Anda sudah memberikan pengertian terlebih dulu. "Saya enggak pingin Ibu beranggapan negatif terhadap suami saya. Saya cuma ingin tahu cara memperbaikinya," ujar Nina mencontohkan.
Atau, jika Anda sungkan, bertanyalah kepada mereka yang sudah lama menikah dan atau orang yang Anda percayai. "Tidak harus ke orangtua atau mertua, carilah orang yang membuat Anda nyaman bercerita," tambah Nina. Namun, curhat semacam ini tidak bisa dilakukan hanya sekali. "Jangan dilihat satu kali peristiwa. Pertama kali bercerita, mungkin mereka akan shock, tapi di kali kedua, setelah mereka mencerna, mereka akan memberikan saran yang lebih objektif sekaligus saran terbaik," papar Nina.
Anda juga bisa berkonsultasi lewat e-mail di kolom konsultasi. Namun jika pertengkaran makin meruncing, "Lebih baik berkonsultasi dengan konselor pernikahan atau psikolog," ujar Nina. Dan ingat, psikolog juga memerlukan waktu untuk menelaah masalah. "Satu kali pertemuan bisa sejam sampai dua jam, dan bisa jadi lebih dari dua kali ketemu, baru ketemu solusinya. Apalagi jika masalahnya rumit," pungkas Nina.
"Ngobrol" di status
Banyak cara untuk mengungkapkan kekecewaan karena harapan tak terpenuhi. Salah satunya, "mengobrol" di status di instant messenger. Anda mungkin akan mengetik status, "All by myself!" lalu suami bertanya dalam hati, apakah ia tak berguna bagi istrinya? Atau, ngetwit no mention alias menyindir tanpa menuliskan akun yang dituju.
Cara tadi dinamakan sikap pasif agresif. "Menyerang secara tidak langsung dengan bergosip, perilaku yang tak berkenan, atau nyindir," jelas Nina. Padahal cara ini tidak akan memperbaiki masalah. "Yang terjadi hanya dua, antara enggak mengerti atau salah mengerti."
Contoh lainnya ketika suami ingin istrinya lebih langsing lalu ia bilang, "Kamu tambah seksi aja, nih!" padahal istrinya agak gemuk. Kalimat semacam ini tentu tak akan bermakna apa pun jika istri merasa suami sedang memujinya. Seharusnya jika memang ingin pasangan lebih langsing, ia menggunakan cara asertif alias mengemukakan keberatan tapi tetap menghargai lawan bicara. Ajak ia berolahraga, misalnya, akan terasa lebih bijak, kan?
(Tabloid Nova/Astrid Isnawati)
Editor :
Dini