PURWOKERTO, KOMPAS.com - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, 80 persen penduduk negara berkembang bergantung pada pengobatan tradisional untuk perawatan kesehatan primer.
"Survei Kesehatan Nasional 2010 menunjukkan bahwa 59,12 persen penduduk Indonesia merupakan konsumen jamu dan 95 persen memanfaatkan jamu," katanya dalam makalah berbahasa Inggris yang dibacakan Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi Agus Purwadianto di Purwokerto, Kamis (11/10/2012).
Agus membacakan makalah Menkes Nafsiah Mboi yang berjudul "Policy and Regulation of Jamu Development and The Way Forward" tersebut dalam "International Conference on Medicinal Plants 2012" yang diselenggarakan Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia (Pokjanas TOI) bersama Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto di Banyumas Room, Hotel Horison, Purwokerto.
Menurut dia, saat ini jamu harus dirangsang untuk menjadi alternatif terkemuka guna meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit, terutama untuk penyakit degeneratif dan gangguan metabolisme, serta untuk tujuan rehabilitasi.
Oleh karena itu, kata dia, penelitian yang didasarkan pada layanan kesehatan merupakan program prioritas di Kementerian Kesehatan untuk menyinergikan dan mengintegrasikan jamu dalam sistem perawatan kesehatan.
Dalam hal ini, lanjutnya, perlu menciptakan inovasi seperti swasembada bahan baku obat (berdasarkan tanaman obat), pariwisata sehat dengan jamu, dan manusia sehat menghasilkan ekonomi yang sehat.
"Bapak Presiden telah meminta agar jamu dikembangkan, antara lain dengan cara menyinergikan dan mengintegrasikan jamu ke dalam sistem pelayanan kesehatan, kerja sama penelitian dan pengembangan jamu, Kementerian Kesehatan bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan harus memfasilitasi produksi jamu berkualitas dengan menerapkan standarisasi," katanya.
Selain itu, kata dia, meningkatkan produksi dari bahan baku sampai produk akhir, pengawasan dan pengendalian untuk produk jamu, serta mengembangkan skala usaha kecil mikro dan menengah untuk jamu.
Ia mengatakan, pengembangan jamu berbasis ilmiah ini ditujukan untuk memberikan bukti ilmiah penggunaan jamu secara empiris, mendorong penyedia jaringan yang melakukan "layanan jamu" dan "penelitian jamu" dalam penggunaan jamu untuk promosi, pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi serta meningkatkan penyediaan jamu yang aman, berkualitas, dan efektif.
"Pengembangan jamu berbasis ilmiah ini ditujukan untuk membangun infrastruktur 'sistem ganda' penyedia jamu, yakni layanan kesehatan dan peneliti jamu," katanya.
Di bagian akhir makalahnya, Menkes mengatakan, beberapa hal yang harus dilakukan ke depan membutuhkan banyak pemain, masyarakat, dan kemitraan dengan swasta untuk mendapatkan kualitas terbaik dari jamu, percepatan kegiatan dari hulu terkait penyediaan bahan jamu yang berkelanjutan sesuai standar baku, serta memunculkan kesadaran kolektif konservasi dan pengembangan jamu sebagai warisan nasional.
Selain itu, kata dia, seluruh puskesmas dan rumah sakit harus menerapkan sinergi serta integrasi pelayanan jamu dalam pengobatan komplementer, alternatif tertentu, dan lainnya secara bertahap.
Dengan demikian, lanjutnya, promosi besar mengenai jamu berupa "Jamu Brand Indonesia" dapat terwujud.
"International Conference on Medicinal Plants 2012" yang diselenggarakan di Purwokerto, juga menghadirkan beberapa pembicara dari dalam dan luar negeri seperti Dr Lesley Braun dari Monash University, Assoc.Prof Wandee Gristnapan (Mahidol University), dan Dr Chandrkant B Salunke (Khrisna Mahavidyalaya India).