Jakarta, Kompas.com - Sebanyak 65 persen masyarakat Indonesia memiliki masalah gigi sensitif. Namun, hanya separuhnya yang melakukan tindakan apapun untuk mengobatinya. Sisanya, membiarkannya.
"Masyarakat masih mengabaikan sakit gigi. Padahal, gangguan ini menurunkan kualitas hidup penderitanya," tegas Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Eky S Soeria Soemantri saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (19/10). Terlebih lagi, penderita gigi sensitif umumnya kelompok usia produktif.
Gigi sensitif dipicu oleh terbukanya dentin gigi, yaitu lapisan dibawah email gigi yang berwarna putih. Di dentin terdapat saluran yang menghubungkan dengan saraf-saraf gigi. Akibatnya, jika terkena makanan atau minuman yang panas, dingin, atau manis, gigi terasa ngilu.
Ketua Ikatan Periodontologi Indonesia Komisariat Jakarta Hari Sunarto mengatakan terbukanya dentin ini disebabkan oleh cara menyikat gigi yang terlalu keras dan bertekanan tinggi serta penggunaan sikat gigi yang bulu sikatnya keras. Cara ini justru bisa memicu resesi gusi atau turunnya gusi sehingga dentin gigi di bagian akar gigi terlihat.
"Ini bukan akibat keturunan, tetapi berubahnya anatomi gigi," katanya.
Meski bisa terjadi di semua bagian gigi, gangguan gigi sensitif umumnya terjadi pada bagian sudut deretan gigi, di sekitar gigi taring. Gejala yang mirip gigi sensitif, yaitu ngilu pada bagian belakang gigi, kemungkinan bukan akibat gigi sensitif tetapi akibat posisi gigi bungsu yang tidak sempurna
Menurut Hari, mendiagnosis gigi sensitif tidak mudah. Karena itu, setiap ada keluhan mirip gigi sensitif, maka hal yang dilakukan adalah mengobati keluhan dasarnya, seperti menambal gigi berlubang atau memperbaiki jaringan penyangga gigi. Jika masih timbul rasa sakit, maka dentinnya harus diperiksa dengan sejumlah peralatan kedokteran gigi, seperti foto rontgen.
Eky menambahkan, terbukanya dentin gigi juga bisa disebabkan oleh rusaknya jaringan ikat yang menyangga akar gigi. Kerusakan jaringan ikat ini akibat infeksi yang ditimbulkan oleh kuman yang ada di dalam karang gigi.
Menurut Eky yang juga Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia itu, keengganan masyarakat memeriksakan gangguan gigi yang dimilikinya juga karena takut pergi ke dokter gigi atau khawatir dengan biaya pemeriksaan gigi yang mahal. Pemeriksaan gigi mahal karena hampir semua bahan dan peralatan yang digunakan masih diimpor.
Untuk mendapat layanan kesehatan gigi yang murah namun tetap berkualitas, masyarakat dapat memanfaatkan 15 rumah sakit gigi dan mulut di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Rumah sakit ini dikelola oleh fakultas kedokteran gigi di sejumlah universitas.
"Konsep yang ada di rumah sakit gigi dan mulut ini adalah one visit treatment. Semua peralatan kedokteran gigi ada disana dalam jumlah besar," tambahnya. (MZW)