Jakarta, Kompas - Tingginya beban ekonomi, makin lebarnya kesenjangan sosial, serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat masyarakat menderita depresi. Beratnya beban jiwa menimbulkan pemikiran irasional dan mewujud dalam perilaku yang penuh dengan kekerasan, mulai dari tawuran, perundungan (bullying), kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan, hingga bunuh diri.
"Depresi sering tak terdeteksi," kata Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Diah Setia Utami di Jakarta, Jumat (5/10). Gejala depresi tidak hanya mewujud pada perubahan perilaku yang cenderung lebih diam, tapi bisa juga sebaliknya, jadi agresif dan agitatif.
Meski demikian, sebagian besar orang tak sadar dirinya mengalami depresi terselubung. Gejala umum yang sering ditunjukkan adalah penyakit fisik yang terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu dan tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan, seperti migrain tiap hari, mag terus-menerus, sulit tidur, dan masuk angin.
Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebut, prevalensi nasional penderita gangguan mental emosional (cemas dan depresi) pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun mencapai 11,6 persen (sekitar 20 juta orang). Yang mengalami gangguan jiwa berat 0,46 persen (sekitar 1 juta jiwa).
Gangguan jiwa ini bisa terjadi pada siapa pun, dari bayi hingga orang lanjut usia (lansia). Perempuan umumnya lebih rentan depresi daripada pria. Meningkatnya berbagai penyakit kronik, seperti gangguan jantung, hipertensi, dan diabetes, pada lansia juga meningkatkan depresi.
"Berbagai penyakit fisik terkait dengan kesehatan jiwa," kata M Riza Syah, Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan.
Mengutip data World Health Report 2001, Riza menyebut depresi sebagai penyakit keempat penyebab hilangnya waktu produktif (disability adjusted life years) tertinggi pada 2000. Diperkirakan depresi naik ke peringkat kedua penyebab hilangnya waktu produktif pada 2020 setelah penyakit jantung iskemik (arteri koroner). "Perubahan gaya hidup dan ketatnya persaingan antar-individu membuat makin banyak orang depresi," ujarnya.
Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah penderita gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia. Prevalensi pada 2007 mencapai 2,03 persen (sekitar 150.000 orang). (MZW)