KOMPAS.com - Akhir September lalu, dua perancang busana asal Indonesia, Tuty Cholid dan Denny Wirawan, serta Yuke Setiyoko, perajin sutra liar bermerek Lenan, berangkat ke New York untuk menggelar dua peragaan busana. Pertama, di acara South-South Award 2012 yang dihadiri perwakilan dari berbagai negara di wilayah selatan-selatan. Kedua, pada acara makan malam sekaligus pemberian penghargaan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Beberapa hari setelah peragaan busana, Tuty, Denny, dan Yuke, bertemu dengan calon pembeli dan investor. Bertempat di lantai 11 di 57th street New York, mereka membawa busana dan kain yang siap dihadirkan untuk pasar New York.
Patricia E Oppenheimer dan Margarita E Martinez dari X-Tige, menjadi jembatan bagi Denny dan Tuty untuk menjemput New York. Melalui X-Tige, karya Tuty dan Denny akan ditawarkan kepada pembeli dan pencinta busana di kota itu.
"Secara umum, kain yang mereka gunakan sangat bagus, baik tenun maupun sutra. Teksturnya juga indah," kata Margarita.
Namun, Margarita menyarankan agar Denny dan Tuty lebih banyak mengadopsi selera New York yang simpel ke dalam desain mereka. "Dengan siluet yang lebih sederhana, akan lebih mudah masuk ke pasar Amerika, khususnya New York," tambah dia.
Tuty dan Denny memang berdiskusi dengan Margarita dan Patricia secara terpisah. Dalam diskusi itu, Tuty memaparkan konsep karyanya yang ramah lingkungan, yakni seluruhnya berbahan alami. Tidak ada kain atau benang sintetis, bahkan tanpa bahan kimia.
"Dengan konsep eco friendly dari awal sampai akhir, dari bahan dasar hingga desain, saya bertahan bukan di produk massal," jelas Tuty.
Meski demikian, Tuty mengakui, masih ada bahan dasar alam yang harus diimpor dari China. Untuk itu, ia bercita-cita, suatu saat nanti seluruh bahan dasarnya bisa disediakan sendiri di Indonesia. Oleh karena itu, bukan hanya produk yang akan dihasilkan, melainkan sumber daya.
Dengan konsep itu, Tuty optimistis bisa meraih pasar New York. Seperti halnya pasar Jepang, yang sudah ia masuki.
"Selera pasar tiap negara berbeda-beda. Kalau di Amerika, lebih casual, basic, smart, dan modern. Namun, dipengaruhi juga oleh musim," ujar Tuty.
Denny yang selama ini sudah masuk ke pasar Indonesia mengakui, tanggapan dan pasar Amerika berbeda. Namun, ia tetap memaparkan portofolionya kepada Margarita dan Patricia, untuk menciptakan citra karya busananya.
Selain karyanya untuk pasar kelas atas Indonesia, Denny juga memasukkan karya-karya yang ditampilkan dalam peragaan busana di Paris dan Dubai. Kesimpulannya tetap sama, pasar Eropa berbeda dengan Amerika.
"Ada saran dari Margarita agar saya membuat desain yang lebih sederhana untuk pasar Amerika. Namun, tanpa meninggalkan ciri khas," kata Denny.
Bagi Denny, saran itu menjadi cambuk untuk membuat karya yang lebih menarik bagi pencinta mode di New York. Ia bahkan diberi kesempatan untuk mempresentasikan ulang karyanya dalam beberapa waktu mendatang. Bahan yang digunakan tetap sama, yakni bahan alam buatan tangan.
Kini, saatnya bagi Tuty, Denny, serta perajin tenun dan sutra Indonesia untuk terus mengembangkan diri. Meraih pencapaian baru dan pasar baru. Termasuk celah di pasar New York.
(Dewi Indriastuti)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini