KOMPAS.com - Buku tak lagi ranah milik sastrawan. Novel yang diangkat dari kisah nyata bukan lahir dari sastrawan besar. Memoar bukan lagi hanya tentang orang terkenal. Siapa pun boleh menuliskan kisah hidup, jadi buku laris, dan syukur-syukur menginspirasi banyak orang.
Gaun ketat membalut tubuh Aira Miranti Dewi (39). Potongan gaun itu membuat pundak dan punggung Miranti yang bertato terekspos memikat. Ia berdiri di atas panggung, menyapa sahabat-sahabatnya yang datang ke acara prapeluncuran novel tentang dirinya, Aku Jalak, Bukan Jablay, Kamis, (27/9), di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan.
Tamu undangan acara di kafe itu pun disyaratkan hadir dengan busana bernuansa fuschia—alias pink tajam—seperti warna gaun Miranti. Bersamaan dengan prapeluncuran novel itu, diputar pula video klip single perdana Miranti yang bertajuk sama dengan novelnya. Ia menyanyi dan menari di situ.
Aku Jalak, Bukan Jablay, kata Miranti, berarti "aku janda galak, bukan janda jablay". Jablay adalah bahasa gaul yang artinya jarang dibelai. Disebut prapeluncuran karena novel itu baru dijadwalkan naik cetak akhir Oktober ini. Jadi barangnya belum ada di toko. Uniknya, walaupun belum dicetak dan belum bisa dibaca, novel itu sudah terjual Rp 55 juta atau setara dengan hampir 1.000 eksemplar pada saat prapeluncuran. Ck... ck... ck...!
Novel ini diangkat dari kisah hidup Miranti. Novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata kehidupan seseorang adalah fenomena baru yang ditawarkan kepada pembaca di Tanah Air.
Miranti tak punya pengalaman menulis buku. Ia dulu pernah sukses berkarier menjual produk keuangan. Ia pernah jadi associate director Danareksa Investment Management. Ia hanya dua semester mencicipi bangku perguruan tinggi. Lalu ia menikah dan jadi ibu di usia muda. Lalu dua kali menjanda. Ketika menapaki tangga karier, cemoohan tak henti dialamatkan kepadanya. "Aku mau ceritaku ditulis karena dendam," ujar Miranti.
Lewat novel itu, ia ingin menyampaikan pesan, tidak mudah jadi orangtua tunggal, tetapi tak perlu pula menyerah karena ketajaman lidah orang lain. "Kenapa jadi janda disebut aib, apalagi kalau si janda ini cantik dan merawat diri," ujar perempuan yang sudah 14 tahun jadi orangtua tunggal dengan dua anak itu.
Miranti tak menulis sendiri kisahnya. Novel tentang dirinya itu ditulis oleh penulis profesional Dewi Ria Utari.
Anak sopir angkot
Pengalaman hidup pula yang dituangkan Iwan Setyawan (37) dalam novel yang ia tulis, 9 Summers 10 Autumns, dari Kota Apel ke The Big Apple. Novel yang disebut Iwan sebagai tulisan panjang pertamanya ini sudah dicetak delapan kali sejak pertama terbit Februari 2011. Kisah itu pun kini tengah difilmkan oleh sutradara Ifa Isfansyah.
Dalam novel itu, Iwan menceritakan perjalanannya, dari anak sopir angkutan kota di Batu, Jawa Timur, ia mengenyam pendidikan di Institut Pertanian Bogor hingga berkarier di Nielsen Consumer Research, New York, Amerika Serikat (2000-2010). Iwan menduduki jabatan direksi saat memutuskan mundur untuk kembali ke Indonesia.
"Saya ingin punya buku keluarga karena tak punya foto keluarga semasa kecil. Saya ingin menulis buku agar ponakan-ponakan saya tidak terputus dengan sejarah keluarga," kata Iwan.
Berbekal keinginan itu, mulailah ia menulis. Ketika naskah siap terbit, ia sempat gamang. Namun, sang ibu membuat keberanian Iwan muncul lagi. "Siapa tahu akan ada dua atau tiga anak sopir angkot seperti kamu yang akan baca dan terinspirasi," kata ibunya.
Juni lalu, sebuah surat elektronik diterima Iwan. Isinya, cerita seorang pembaca muda yang akan segera kuliah di San Francisco dengan beasiswa. Si pengirim surat ini juga anak sopir angkot. "Saya menangis membacanya," kata Iwan.
Sulit menjawab
Oki Setiana Dewi (23) punya cerita lain. Namanya melejit sebagai pemeran utama film Ketika Cinta Bertasbih (KCB,) salah satu film terlaris Indonesia pada 2009. Tak kalah laris pula sekuel film ini dan sinetron bertajuk sama yang ditayangkan TV pada 2010-2011.
Sebagai artis, Oki yang sehari-hari berjilbab kerap ditanya wartawan, sejak kapan dan kenapa ia berjilbab. Bukan pertanyaan yang mudah ia jawab. Akhirnya Oki menuangkan kisahnya dalam buku memoar Melukis Pelangi (Mizania, 2011). Buku ini menjadi best seller. Kini buku itu sedang dalam proses cetak ulang ke-10.
Di situ, Oki menuturkan, sejak kecil ia bercita-cita jadi artis dan merantau sendiri ke Jakarta pada usia 16 tahun untuk mengejar mimpi itu. Gaya dia berpakaian pun saat itu jauh berbeda.
Sambil kuliah di Sastra Perancis, Universitas Indonesia, ia jatuh bangun mengejar audisi peran. Mimpi jadi artis itu ia hapus ketika ibunya divonis sakit serius. "Saya cuma ingin jadi anak sholihah supaya Allah mendengar doa saya untuk ibu," katanya.
Tak dinyana, justru saat itulah ia mendapat peran utama di film bertema religi itu. Dikenal sebagai artis, membuka jalan baginya untuk lebih banyak mengajak orang beraktivitas sosial. Bersama komunitas penggemarnya, Oki rutin berkegiatan sosial, salah satunya mengadakan program edukasi mingguan di Lapas Wanita Tangerang, sejak Oktober 2011.
"Saya menulis buku untuk menginspirasi orang, mengajak orang bersandar kepada Tuhan dan berbuat lebih dari sekadar untuk diri sendiri," ujar Oki yang juga menjadi duta untuk organisasi Rumah Autis ini.
Buku memoar juga dipilih untuk mengawali kembalinya Ariel, Uki, Lukman, Reza, dan David —awak band Peterpan yang kini jadi Noah—ke kancah musik Indonesia. Buku Kisah Lainnya (2012) menceritakan perjalanan lima personel band ini, dari latar keluarga hingga saat berjuang melewati badai masalah yang sempat menghentikan langkah mereka bermusik, setelah Ariel terkena kasus.
Tren baru
Editor Fiksi Gramedia Pustaka Utama (GPU) Hetih Rusli mengamati, novel yang diangkat dari pengalaman pribadi penulisnya sedang menjadi tren dalam satu-dua tahun terakhir. Memoar atau novel itu dinilai inspiratif walaupun berkisah tentang orang yang belum dikenal luas.
Secara kuantitas, GPU misalnya, masih lebih banyak menerbitkan biografi orang terkenal. Namun, Hetih yakin, penulisan novel dari kisah nyata akan makin marak. "Bahkan, orang yang tidak bisa menulis pun berpikir mereka bisa mencari orang untuk membantu menulis," kata Hetih.
Berbeda dengan orang-orang ternama, yang dibukukan dalam bentuk biografi, kisah hidup mereka yang tak dikenal ini, menurut Hetih, lebih menjual ketika ditulis dalam bentuk novel. "Novel sifatnya lebih ringan, ada unsur drama dan emosi yang disukai pembaca. Namun bukan berarti membohongi pembaca karena ceritanya tetap terinspirasi kisah nyata," ujarnya.
Pengamat buku Arswendo Atmowiloto menilai positif maraknya penulisan buku dari penggalian pengalaman pribadi itu. "Esai personal yang bersifat human akan lebih mudah menyentuh orang lain. Ketika pengalaman subyektif dibagi lewat buku, bisa dirasakan orang lain, dan memberi pembacanya inspirasi itu jadi karya obyektif," ujarnya.
(Nur Hidayati/Yulia Sapthiani)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini