KOMPAS.com - Berbagai alasan psikologis seperti ketidaksiapan memiliki anak, sampai kondisi ekonomi yang rendah, membuat banyak orangtua menyia-nyiakan anak mereka. Bahkan ada orang tua yang tega menjual anak dan menjadikannya pekerja seks komersial (PSK) untuk mendapatkan uang dengan cepat dan gampang, karena mereka sendiri malas bekerja.
"Eksploitasi anak untuk berbagai alasan dan tujuan merupakan tindakan paling keji yang pernah dilakukan," ungkap Linda Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam acara "Ratifikasi RUU Konvensi Hak Anak" beberapa waktu lalu di Jakarta.
Parahnya, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia, dan angkanya pun sangat mengejutkan. Di tingkat internasional, angka pasti fenomena ini belum diketahui, namun menurut International Labor Organization tahun 2002, jumlah anak yang diperdagangkan di seluruh dunia sekitar 1,2 juta orang. Sedangkan menurut data Komnas Perlindungan Anak Indonesia, pada 2004 lalu Indonesia "dinobatkan" sebagai pemasok perdagangan anak terbesar di Asia Tenggara.
Untuk mengatasi hal ini, 20 negara di dunia termasuk Indonesia sudah menyatakan komitmennya untuk menghentikan perdagangan anak melalui UU Perlindungan Anak. Pemerintah Indonesia mengesahkan RUU tentang Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak ini pada 26 Juni 2012 lalu melalui UU RI No 10 tahun 2012. Setelah meratifikasi UU ini, secara tak langsung Indonesia terikat untuk menjalankan semua peraturannya sesuai dengan hukum internasional.
Pelaksanaan konvensi ini diawasi oleh Komite Hak-Hak Anak PBB, di mana setiap tahunnya komite ini akan memberikan laporan tentang pelaksanaan konvensi ini di berbagai negara.
Apa saja yang diatur di dalamnya?
Protokol tambahan UU ini secara umum mendefinisikan penjualan anak sebagai tindakan atau transaksi, di mana seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh perorangan atau kelompok demi keuntungan atau dalam bentuk lain, misalnya untuk tujuan eksploitasi seksual, mengambil organ tubuh, kerja paksa, atau adopsi. Sedangkan pelacuran anak adalah penggunaan anak untuk aktivitas seksual dengan mendapatkan imbalan atau dalam bentuk lainnya.
RUU ini juga mendefinisikan pornografi anak sebagai tindakan pertunjukan apa pun, dan dengan cara apa saja, yang melibatkan anak dalam aktivitas seksual yang nyata maupun eksplisit, atau menampilkan bagian tubuh anak untuk tujuan seksual. Termasuk di dalamnya mengirimkan, menyebarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, menjual, atau memilikinya.
Secara umum, protokol ini berisi aturan kriminalisasi bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana penjualan, pelacuran, dan pornografi anak, termasuk di dalamnya melakukan percobaan dan turut serta melakukan tindak pidana ini. Para pelaku tindak pidana kejahatan kemanusiaan ini meliputi orang-perorang maupun badan hukum.
Dengan demikian, yang bisa dikenakan hukum pidana atas perbuatan ini antara lain pembeli seks anak, mucikari atau germo, hotel yang memfasilitasi terjadinya jual-beli anak atau hubungan seks dengan anak, pusat-pusat karaoke, pub, maupun diskotik, yang mempekerjakan anak atau yang membiarkan hal ini terjadi. Orang tua, jika terbukti menjadi pihak pertama yang menjual anaknya kepada pihak ketiga, tidak luput dari hukuman ini.
Yang paling penting, protokol ini juga mengatur tentang standar minimum perlindungan bagi korban tindak pidana, dan hak korban untuk mendapatkan kompensasi (ganti rugi) atas kerugian yang dideritanya dari pelaku maupun negara.
"Namun yang paling penting para korban tindak pidana ini diberikan mekanisme perlindungan yang efektif, termasuk menyediakan safe house (tempat melapor tindak pidana), pusat-pusat pemulihan dan rehabilitasi. Hal ini diperlukan untuk menghilangkan trauma serta mengembalikan kepercayaan diri mereka agar bisa bergabung kembali di masyarakat," saran psikolog seks, Zoya Amirin kepada Kompas Female.
Editor :
Dini