Penulis: Mawar Kusuma
"Stem cell" atau sel punca menjanjikan harapan baru di dunia kedokteran. Sel ini mampu tumbuh menjadi semua jenis sel baru dalam tubuh. Pasien yang divonis tak bisa sembuh pun, kondisinya bisa membaik.
Endah Purwati (52) mulai merasa nyeri punggung pada awal 2011. Kala itu, hasil foto rontgen tak menunjukkan indikasi penyakit. Namun, diagnosis tersebut berubah ketika kerusakan di tiga ruas tulang belakangnya terdeteksi pada akhir 2011.
Karena belum bisa membaca penyakit yang diderita Endah, dokter di Jakarta menyarankan untuk menjalani proses radiasi atau mencari second opinion ke Singapura. "Saya bisa kolaps kapan pun," kata Endah, pendiri Cahaya Montessori School.
Dokter di The National University Cancer Institute Singapura memastikan, Endah menderita multiple myeloma atau kanker sel plasma, sejenis sel darah putih yang ada dalam sumsum tulang. Ia kemudian ditawari pengobatan dengan transplantasi sel punca.
Endah mulai menjalani program transplantasi tepat pada hari Valentine, Februari lalu. Empat bulan pertama dijalani Endah dengan berobat jalan Jakarta-Singapura.
"Pengobatan dengan sel punca memungkinkan sel tumbuh kembali untuk memperbaiki kerusakan. Sekarang tubuh saya terasa segar dan punggung tak lagi nyeri," ujar Endah, yang kini sudah menjalani 90 hari pascatransplantasi.
Kini, Endah masih tinggal di apartemennya di Singapura sembari menunggu pemeriksaan hingga hari ke-100. Jika hari itu tiba dan Endah dinyatakan sehat, ia bisa pulang ke Tanah Air dengan tetap menjaga diri agar tidak terkena infeksi.
Tahapan transplantasi
Proses penyembuhan dengan sel punca bagi Endah diawali dengan kemoterapi dosis tinggi. Sumsum tulang belakangnya di "bom" dengan kemoterapi sehingga seluruh isi sumsum tulangnya menjadi kosong. Tak hanya sel kanker, sel darah merah dan sel darah putihnya pun ikut mati.
Tahapan kemoterapi ini menjadi masa paling riskan karena daya tahan tubuh Endah ada di titik nol dan mudah terkena infeksi. Sel punca yang juga ada di dalam sumsum tulang belakangnya sudah terlebih dulu dipanen untuk kemudian ditransplantasikan setelah kemoterapi.
Sel punca itu diharapkan tumbuh lagi untuk perbaikan seluruh sel yang rusak. Setelah transplantasi, Endah rajin mengonsumsi obat antivirus dua hingga tiga kali per hari dan obat antibakteri tiga kali dalam sepekan.
Hebatnya, Endah menjalani seluruh proses itu sebagai pasien luar ruang. Ia memilih tetap tinggal di apartemen sehingga bisa dirawat keluarga. Dirawat di rumah juga membuatnya tidak tertekan secara psikologis.
Biaya transplantasi sel bisa ditekan hingga separuh dari 70.000 dollar Singapura menjadi sekitar 35.000 dollar Singapura. "Recovery-nya cepat. Suster juga rajin mengecek dengan menelepon setiap hari," kata Endah.
Agar hidupnya tetap sehat, apartemennya rajin disedot dari debu. Ia bisa makan menu kesukaannya, tetapi tetap di bawah pengawasan ahli gizi. Ia harus menghindari tempat ramai, seperti pasar atau pesta pernikahan.
Tali pusat
Sadar pentingnya peran sel punca, orangtua seperti Idan Pohan memilih menyimpan sel punca dari darah tali pusat bayinya di bank darah tali pusat swasta Babybanks. Ketika melahirkan putri semata wayangnya, Nyimas Jezenya Humaira (5), tim dari Babybanks sudah ada di ruang persalinan untuk mengambil darah.
Tujuh tabung berisi darah tali pusat itu kini disimpan di sebuah gedung yang tahan gempa di Taipei. Idan membayar lebih dari Rp 10 juta ketika pertama kali memutuskan menyimpan darah tali pusat. Untuk perpanjangan proses penyimpanan, ia rutin membayar 250 dollar Singapura setiap kali anaknya berulang tahun.
"Sel punca diperlukan untuk perbaikan sel rusak pada penyakit yang masih sulit obatnya. Teknologi berkembang terus, siapa tahu nanti bermanfaat. Mudah-mudahan tidak diperlukan. Jaga-jaga buat anak, setengah coba-coba juga," kata Idan.
Bank darah tali pusat, menurut Ketua Umum Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia Dr dr Djumhana Atmakusuma, SpPD, sebaiknya dikelola oleh pemerintah, dengan tujuan utama untuk donor sel punca. Transplantasi dengan donor sel punca dari orang lain saat ini masih tergolong mahal dengan biaya sekitar Rp 3,5 miliar di Belanda.
Di beberapa negara, kehadiran bank darah tali pusat swasta masih menjadi isu kontroversi karena kemungkinan pemanfaatan sel punca di usia bayi hanya 0,001 persen. Ketika dewasa, tidak ada jaminan bahwa sel punca yang disimpan sejak bayi itu masih bisa digunakan.
Terkendala fasilitas
Menurut Djumhana, sel punca sangat penting karena bisa berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel khusus, seperti sel darah atau sel otot. Penemu sel punca pluripoten, John B Gurdon (79) dan Shinya Yamanaka (50), juga baru saja menerima penghargaan Nobel Kedokteran.
Sel punca ini bisa dipanen dari sel embrionik yang diambil dari embrio bayi atau dari sel dewasa, seperti sumsum tulang, darah tepi, dan tali pusat bayi baru lahir.
Perlakuan dengan sel punca dibagi menjadi dua, yaitu terapi dan transplantasi. Pada proses terapi, sel punca hanya disuntikkan ke jaringan yang rusak, seperti pada penanganan pasien jantung stadium akhir.
Berbeda dengan terapi sel punca yang saat ini baru memasuki tahapan riset aplikasi di klinik, transplantasi sel punca sudah menjadi standar internasional yang dikembangkan sejak tahun 1960-an. Transplantasi sel punca dikembangkan pertama kali di RSCM tahun 1988.
Tenaga dokter ahli di bidang transplantasi sel punca di Indonesia sudah sangat memadai. Sayangnya, menurut Djumhana, alat-alat yang digunakan untuk transplantasi sel punca sudah tua. Renovasi ruang isolasi bagi pasien transplantasi sel punca di RSCM maupun RS Dharmais juga belum rampung.
Pasien transplantasi sel punca akhirnya dirujuk ke beberapa rumah sakit di Singapura. Perawatan jarak jauh bisa menjadi masalah karena daya tahan tubuh pasien cenderung lemah hingga dua tahun setelah transplantasi.