Kompas.com - Porsentase obat palsu di dunia menurut WHO mencapai 10 persen. Ini berarti dari 10 obat yang beredar, salah satunya adalah obat palsu. Sebuah perjanjian global untuk mencegah perdagangan obat palsu dianggap semakin mendesak.
Seperti dilaporkan dalam British Medical Journal, para pakar meminta agar WHO menyiapkan sebuah kerangka seperti halnya dalam pengendalian tembakau untuk melindungi masyarakat.
Obat malaria termasuk obat yang paling banyak dipalsukan. Di Indonesia sendiri diperkirakan 25-30 persen obat yang beredar adalah palsu.
Di negara-negara kaya, keamanan obat memang lebih baik tetapi obat yang di bawah standar masih menyebabkan ribuan kasus reaksi alergi parah, bahkan kematian.
Kasus paling baru adalah di Amerika Serikat dimana obat yang terkontaminasi jamur menyebabkan wabah meningitis dan menyebabkan 16 korban tewas.
Amir Attaran dan tim dari Asosiasi Perserikatan Kesehatan Masyarakat, Federasi Farmasi International, dan Dewan Perawat Internasional, mengatakan bila pemerintah dan perusahaan farmasi belum sepakat akan obat yang tidak aman, dipastikan sulit mencapai perjanjian.
Ia menjelaskan, seringkali diskusi mengenai keamanan obat sering berakhir dengan konflik seputar pentingnya harga obat atau hak kekayaan intelektual.
Meski hukum di banyak negara sudah melarang peredaran obat palsu namun tidak adanya perjanjian global menyebabkan organisasi kriminal bisa terus memperdagangkan obat palsu di negara yang hukumnya lemah.
WHO bahkan memperkirakan sepertiga negara di dunia belum memiliki atau baru sedikit mengatur tentang obat palsu.
Perjanjian global diharapkan akan membantu pemerintah menguatkan hukum dan melakukan kerjasama internasional untuk tujuan yang lebih luas.
Hal yang sama juga akan diberlakukan pada protokol baru di bawah Framework Convention on Tobacco Control yang nantinya akan membuat produk tembakau bisa dilacak dan perdagangan global dianggap sebagai tindakan kriminal.
"Dengan protokol itu diperlukan pelacakan dan pemantauan produk tembakau. Bungkus rokok akan diberi nomor serial sehingga bisa dilacak sejak awal sampai ke tangan konsumen," kata Attaran.
Ia menambahkan, bila obat-obatan juga diberikan nomor serial nantinya akan lebih mudah untuk membedakan jika sebuah obat palsu.