Memelihara Rasa Sukses Karyawan

Karir - Kompas Female
http://4skripsi.blogspot.com/
Memelihara Rasa Sukses Karyawan
Dec 17th 2012, 06:34

KOMPAS.com - Saat seorang karyawan bergabung di perusahaan, kita beranggapan mereka sudah pasti mau bekerjasama, mau berkontribusi, mau menunjukkan loyalitas, apapun alasannya. Meski kita juga sadar bahwa employment mereka bersifat sementara, namun ketika ada karyawan mengundurkan diri, apalagi karyawan andalan, kita tetap akan merasa shock, tidak siap, dan kemudian bereaksi macam-macam. Kadang marah, merasa bahwa karyawan tidak tahu diri. Tak jarang kita juga bertanya-tanya, "Mengapa sudah disediakan yang 'enak-enak' tapi tetap tidak kerasan? Apa sih yang salah dengan diri kita?"

Situasi karyawan "keluar-masuk" sudah pasti memusingkan. Perpisahan pasti tidak pernah enak, bagi kedua pihak, apalagi bila dibumbui sakit hati. Sebuah riset menunjukkan kerugian finansial sebagai akibat perginya karyawan potensial besarnya mencapai 3 sampai 10 kali biaya upah tahunannya. Belum lagi bila kita menghitung kerugian moral, misalnya ketidakpuasan pelanggan karena orang yang berganti-ganti, juga turunnya spirit tim.

Masalah turnover karyawan jelas harus dicari jalan keluarnya. Bukan dari sisi manajemennya saja, tetapi juga karyawannya. Siapa sih yang ingin menjadi kutu loncat? Dan, manajemen mana yang tidak menginginkan hubungan langgeng dengan karyawan, apalagi karyawan dengan kontribusi yang baik?

Para pemikir manajemen baru-baru ini menganjurkan kita untuk tidak hanya memikirkan hubungan industrial saja, tetapi lebih memperhatikan bagaimana karyawan memelihara "rasa suksesnya". Pemikiran ini sebetulnya memudahkan kita untuk memikirkan kelanggengan hubungan industrial ini karena justru bisa diupayakan secara aktif oleh kedua belah pihak, di luar cara-cara tradisional untuk mengupayakan "employee satisfaction".  

Mengobati rasa frustrasi
Seorang karyawan cemerlang yang baru saja mendapatkan beasiswa dan menyelesaikan studi S2-nya, merasa happy ketika dijadikan narasumber dalam komite perubahan bisnis proses dan penggantian sistem perusahaan. Rasa suksesnya ini membuat ia bangga, seolah bisa menepuk dada bila ia pulang ke keluarganya, dan bisa mengatakan, "Ayah bekerja keras karena sangat dibutuhkan di perusahaan".

Sebaliknya, kita tentu pernah mendengar ada karyawan merasa frustrasi hanya karena rapat-rapat dalam tim yang berkepanjangan ataupun pengambilan keputusan yang bolak-balik. Meski terlihat sepele, hal ini bisa membuat karyawan merasa tidak merasa ada kemajuan dalam pekerjaannya. Bawahan juga bisa merasa tidak sukses karena sikap atasan.

Atasan yang tidak berhasil memberi kejelasan akan harapan manajemen, mengubah-ubah sasaran pekerjaan, tidak menjelaskan kemungkinan perbaikan kesejahteraan, tidak memberi umpan balik yang workable, ataupun tidak mampu memimpin rapat yang efektif dan inspiratif, tak jarang juga membuat anak buah lelah dan merasa bahwa pekerjaan menjadi rutin dan "biasa-biasa" saja. Sepanjang ide kita diterima, apalagi "dipakai" sebagai inisiatif perusahaan, individu pasti akan bisa merasakan kesuksesan. Ini jelas berarti bahwa sukses tidak selamanya berbentuk didapatnya fasilitas-fasilitas yang mentereng dari perusahaan.

Hal lain yang bisa membuat karyawan frustrasi adalah tangga karier yang vertikal dan berbentuk piramid, sehingga mendaki karier terlihat sebagai tantangan yang too complicated. Padahal, karyawan perlu melihat kesuksesan, kecil maupun besar, yang "bisa" dicapai, baik itu secara lateral, maupun secara emosional.

Dari segi benefit, kita tidak lagi bisa menyamakan nilai-nilai karyawan dua-tiga dekade lalu dengan karyawan masa sekarang. Kalau dulu yang dicari karyawan adalah lebih pada rasa aman, seperti jaminan hari tua dan kesehatan, survei mengatakan bahwa karyawan sekarang lebih menginginkan jaminan yang bisa dikelolanya sendiri di masa depan. Adanya tawaran wealth management yang kreatif akan membuat individu yang bekerja sebagai karyawan akan mempunyai pandangan yang  berbeda tentang "kekayaannya".

Mau tidak mau, kita pun harus meninjau kembali pandangan mengenai "kerja keras". Kaum muda sekarang lebih merasa sukses bila bisa mengelola pekerjaan, sekaligus mengurus dan mengirim anak-anak ke pendidikan yang bermutu. Inilah sebabnya, kita perlu berusaha untuk menciptakan suasana kerja di mana karyawan bisa merasa berada dalam kultur yang dinamis, bisa menampung aspirasi dan bisa inspiratif pula.

Komunikasikan sukses
Bila karyawan sudah memutuskan untuk pergi dari perusahaan, kita kerap merasa bahwa "exit interview" sudah terlambat, sudah sulit untuk bisa memenangkan lagi hati karyawan. Jadi sebetulnya, hal yang lebih penting adalah melakukan "stay interview", di mana kita. justru bisa mendapatkan ide-ide, apa yang membuat karyawan happy dan apa yang bisa membuatnya lebih happy lagi.

Hal yang juga penting adalah memahami bahwa reward saat sekarang tidak sekadar finansial tetapi juga mental. Orang bisa dianggap sukses bukan sekadar dari performance langsungnya, tetapi karena sikapnya. Cara bersikap yang bermotivasi, penuh respek dan positif juga bisa diklaim sebagai tindakan kesuksesan yang bisa di- reward.

Di masa sekarang, di mana orang bisa menyaksikan kesuksesan secara instan, diberikannya "award-award" kesuksesan yang langsung bisa dilihat dari multimedia, bahkan secara "realtime", kita pun perlu memikirkan cara mengenai bagaimana setiap individu dalam organisasi merasakan celebration yang sama. Hal-hal sederhana seperti makan bersama karena proyek berhasil diselesaikan dengan baik, tepukan tulus "good job" pun tidak bisa diabaikan karena selalu ampuh untuk bisa membuat karyawan merasa sukses.

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, Experd Consultant)

Sumber: Kompas Cetak

Editor :

Dini

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post