KOMPAS.com - Selain Pekalongan, Kudus, Solo, dan Yogyakarta, masih ada lagi kota di Jawa Tengah yang menjadi sentra perajin batik. Itulah Lasem, sebuah kota kecamatan di kabupaten Rembang. Berjarak 130 km dari Semarang, atau sekitar 3,5 jam perjalanan, di kota ini Anda bisa menemukan berbagai pengaruh budaya China. Budaya China yang telah berakulturasi dengan budaya Jawa terutama terlihat pada produk batiknya.
Seperti juga batik pekalongan, batik lasem banyak menampilkan motif burung hong, bunga peony, teratai, watu pecah atau watu krecak, dan liong. Pada koleksi batik lasem juga sering ditemukan ornamen kawung, gunung ringgit, dan parangan yang juga terdapat di daerah lain. Sedangkan warnanya yang dominan adalah merah yang menyerupai warna darah ayam, selain itu juga kuning, biru, dan hijau khas pesisir.
Batik lasem sebenarnya baru mulai bangkit kembali setelah sempat menghilang dari peredaran pada tahun 1950-an akibat kondisi politik. Sebelumnya, sejak abad ke-19 hampir semua warga keturunan Tionghoa di kota ini menjadi pengusaha batik, dengan memberdayakan warga sekitar sebagai perajin. Sekitar 60 pengusaha batik yang ada saat ini bergabung dalam Klaster Batik Tulis Lasem, yang dipimpin oleh Rifa'i.
Menurut Rifa'i, batik lasem -khususnya batik tulis- juga sempat mati suri karena tergilas oleh batik printing. Yang lebih memprihatinkan, batik tulis lasem sulit berkembang karena banyak pengusaha batik yang enggan bersikap terbuka satu sama lain. Mereka tak akan membiarkan pembatik lain berkunjung ke showroom atau workshop batik milik kompetitor, karena khawatir ditiru.
"Tetapi hal ini malah membuat tidak adanya transfer ilmu ke generasi berikutnya. Kalau pengusaha itu meninggal, karakter baik baik dari sisi motif maupun warnanya akan menghilang dari pasaran karena tidak boleh ditiru. Satu demi satu hilang, dan semakin menghilang kan karakter seninya juga semakin berkurang," ungkap Rifa'i pada Kompas Female, di sela-sela rangkaian acara "Enchanting IndOriental Beauty Journey" yang digelar oleh Martha Tilaar Group di Semarang, Jumat (7/12/2012) lalu.
Tidak banyak pengusaha batik yang mau terbuka dengan proses pembuatan batiknya. Padahal, menurut Rifa'i, batik tulis tidak pernah menghasilkan corak yang sama meskipun ditiru. Ibarat menulis "Ini Ibu Budi", semua orang akan membacanya sebagai "Ini Ibu Budi", namun garis tulisannya pasti berbeda.
"Tinggal konsumen nanti seneng yang mana? Seneng punya Pak Rifa'i, atau binaan Rifa'i, atau keponakan Rifa'i? Karena hasilnya beda baik dari sisi goresan atau cantingannya, karakter seninya, degradasi warnanya, dan lain sebagainya. Kalau ada 10 perajin bikin motif sekar jagat, hasilnya nanti tetap beda," ujar pemilik Batik Ningrat yang membuka workshop untuk umum di Desa Sumbergirang, Lasem, Kecamatan Rembang, ini.
Hal ini secara tak langsung dibenarkan oleh Sigit Wicaksono, pengusaha batik Sekar Kencana yang dianggap sebagai sesepuh Tionghoa di Lasem. Menurutnya, orang Tionghoa umumnya memegang teguh tradisi bahwa rahasia dalam dunia perbatikan tidak boleh ditularkan kepada orang lain.
Batik lasem juga susah berkembang karena masih digarap secara tradisional. Maksudnya, pembuatannya masih dilakukan dari generasi ke generasi, tidak seperti para pengusaha batik masa kini yang melakukan pengembangan motif dan pewarnaan dengan bantuan desainer. Sehingga, jika seorang pembatik hanya mampu membuat motif A dan B, maka penerusnya juga hanya akan membuat batik motif A dan B tersebut.
Sebagai pengusaha batik, Sigit tergolong idealis. Ia mengakui bahwa batik Sekar Kencana masih bergaya konservatif. Ia enggan memasukkan unsur-unsur modern dalam pewarnaan batiknya, seperti menggunakan warna pink atau blue sky.
"Saya menentang batik tulis yang dikombinasi dengan printing supaya harganya tidak mahal. Batik saya juga tidak dicampur dengan gaya pekalongan atau gaya lain, karena saya ini ndeso," papar Sigit, yang kini berusia 83 tahun.
Sigit sebenarnya sudah menularkan ilmunya. Masalahnya, ia sendiri juga kesulitan melakukan regenerasi. "Anak-anak saya tidak mau regenerasi. Bahkan mereka tidak mau tinggal di rumah ini lagi. Kalau tidak diturunkan, maka riwayat batik Sekar Kencana the end. Kelihatannya cucu saya yang mau meneruskan, tapi sekarang dia masih melanjutkan studinya," pungkasnya.
Editor :
Dini