Oleh AGNES ARISTIARINI
Sebagai penduduk negara tropis, bangsa Indonesia seharusnya tidak kekurangan vitamin D. Matahari menjadi sumber utama sinar ultraviolet beta yang membentuk vitamin D sehingga vitamin ini berlimpah di Nusantara.
Namun, meningkatnya kesibukan dan jumlah bangunan di kota-kota besar membuat banyak anak cenderung kehilangan sinar matahari pagi yang berkhasiat. Mereka harus berangkat sebelum matahari terbit untuk menghindari kemacetan dan tak banyak lagi ruang terbuka untuk bermain di lingkungan rumah dan sekolah.
Di kota-kota besar—terutama pada masyarakat kelas menengah—kekhawatiran terhadap keamanan lingkungan membuat anak-anak mereka jarang diperbolehkan bermain di luar rumah. Saat akhir pekan pun anak-anak lebih banyak diajak ke mal, apalagi di sana juga tersedia fasilitas bermain.
Khasiat besar
Padahal, khasiat vitamin D begitu luar biasa. Suatu penelitian yang pada Desember lalu dipublikasikan di jurnal Dermato-Endocrinology menyebutkan, vitamin D membantu mengurangi risiko berkembangnya autisme.
Penelitian di beberapa negara bagian Amerika Serikat itu berlangsung tahun 2010 pada anak berusia 6-17 tahun dengan tingkat prevalensi autisme yang bervariasi. Ternyata, di negara-negara bagian yang banyak disinari ultraviolet beta, kasus autismenya hanya setengah dari negara-negara bagian yang musim panasnya terbatas.
Tidaklah mengherankan apabila kekhawatiran akan terjadinya defisiensi vitamin D terus meningkat, terutama negara yang tidak sepanjang tahun disinari matahari. November bahkan menjadi bulan kewaspadaan vitamin D dan berbagai penelitian dilakukan dengan hasil yang mengagetkan.
Prof Mitch Blair dari Royal College of Paediatrics and Child Health, Inggris, Desember lalu menulis di BBC News bahwa separuh dari jumlah anak dan 90 persen dari populasi multietnik dewasa yang tinggal di Inggris kekurangan vitamin D.
Defisiensi vitamin D diketahui terkait erat dengan munculnya berbagai gangguan kesehatan pada anak-anak dan dewasa, seperti diabetes, tuberkulosis, multiple sclerosis, dan rakitis: gangguan pada tulang yang banyak dijumpai pada anak-anak miskin di Inggris.
Di Selandia Baru yang banyak bermandi sinar matahari, ada Universitas Massey yang meneliti status vitamin D anak dengan dana dari Health Research Council negeri itu. Anak-anak berumur 2-4 tahun direkrut sepanjang Agustus dan September 2012 untuk melihat korelasi kecukupan vitamin D dengan gangguan pernapasan, penyakit kulit seperti eksim, dan alergi.
Penelitian di Selandia Baru juga penting untuk mengukur peran sinar matahari pada pembentukan vitamin D karena hampir semua bahan makanan di negara tersebut masih bebas dari fortifikasi vitamin D. Meskipun vitamin D juga terdapat pada sejumlah makanan seperti minyak ikan, telur, dan jamur, kadarnya hanya 10 persen dari rekomendasi untuk kecukupan asupan.
Vitamin D tergolong hormon steroid yang produksi dan metabolismenya baru berlangsung saat kulit terpapar sinar ultraviolet beta. Sepanjang tiga dekade, defisiensi vitamin D diasosiasikan dengan berbagai penyakit seperti kanker, gangguan kardiovaskular, otoimun, dan diabetes. Namun, para peneliti di Universitas Massey juga berhasil membuktikan bahwa kekurangan vitamin D bisa memicu resistensi terhadap insulin sehingga memunculkan diabetes melitus tipe 2.
Upaya intervensi
Menurut Prof Mitch Blair, upaya mengatasi defisiensi vitamin D harus dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penyediaan suplemen vitamin D secara luas dan dengan harga murah hingga fortifikasi vitamin D pada berbagai jenis makanan dan minuman.
Hasil penelitian Prof Marlena Kruger, masih dari Universitas Massey, yang berlangsung di Jakarta, Indonesia, dan Manila, Filipina, sepanjang tahun 2007-2008, menunjukkan bahwa fortifikasi vitamin D memang signifikan mengurangi defisiensi.
Dalam penelitian ini, perempuan responden yang sudah menopause diminta meminum susu yang sudah difortifikasi vitamin D, magnesium, dan seng, sedangkan responden kontrol hanya meminum plasebo berisi serum hormon paratiroid. Kadar vitamin D responden diukur sebelum dan setelah intervensi dilakukan.
Seperti yang dimuat dalam jurnal ilmiah Bone volume 46, Maret 2010, hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang minum susu fortifikasi berkurang defisiensi vitamin D-nya. Pada perempuan Indonesia, defisiensi turun dari 70 persen menjadi 22 persen dan pada perempuan Filipina turun dari 20 persen menjadi 0 persen. Susu yang difortifikasi vitamin D, magnesium, dan seng juga sukses meningkatkan kadar osteokalsin pada minggu kedelapan dari 18 persen menjadi 25 persen. Procollagen tipe I N-propeptide (PINP) juga meningkat pada minggu kedelapan dari 15 persen menjadi 21 persen.
Kedua senyawa tersebut berperan dalam pembentukan tulang. Artinya, minum susu secara teratur—terutama yang sudah difortifikasi—membantu memperkuat tulang dan mencegah osteoporosis.
Perlu sosialisasi
Oleh karena itu, sosialisasi peran vitamin D menjadi penting. Meski Indonesia mendapat sinar matahari hampir sepanjang tahun, hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa masih banyak penduduk yang mengalami defisiensi vitamin D, terutama perempuan.
Maka, pertama-tama masyarakat perlu memahami peran vitamin D, dampaknya apabila kekurangan, dan kemudian cara-cara untuk mendapatkan kecukupan vitamin D. Para petugas kesehatan termasuk penyuluh kesehatan, perawat, dan dokter, wajib memahami gejala kekurangan vitamin D dan bagaimana penanggulangannya.
Sejak usia dini, anak-anak juga perlu didorong beraktivitas di luar ruang. Oleh karena itu, kehadiran ruang terbuka yang aman dan nyaman menjadi penting agar berkah sinar ultraviolet beta tidak sia-sia.