Jakarta, Kompas - Tahun 2013 sudah tiba. Persiapan Jaminan Kesehatan Nasional tinggal satu tahun lagi. Meskipun demikian, sebagian besar masyarakat belum memahaminya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan harus menyiapkan segala infrastruktur pendukung agar tahun depan sistem bisa dijalankan dengan baik.
"Seluruh rakyat akan punya kesetaraan akses dan manfaat layanan kesehatan sesuai indikasi medis," kata Kepala Grup Manajemen Manfaat PT Askes Maya A Rusady dalam Renungan Akhir Tahun 2012: Paradigma Baru dalam Pembiayaan Kesehatan, Senin (31/12), di Jakarta.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah asuransi kesehatan bersifat sosial. Ia dijalankan dengan prinsip gotong royong, yang kaya membantu yang miskin, yang sehat menolong yang sakit. Kepesertaan asuransi ini bersifat wajib. Mereka yang mampu harus mengiur. Penduduk miskin mendapat bantuan pemerintah.
Pelaksanaan JKN akan mengubah sistem layanan kesehatan di Indonesia. Sistem rujukan harus benar-benar berjalan. Artinya, 70 persen persoalan kesehatan harus bisa diselesaikan di layanan kesehatan primer, baik di puskesmas maupun dokter keluarga. Layanan kesehatan sekunder dan tersier hanya menerima pasien rujukan layanan kesehatan primer. "Mereka yang ingin mendapat layanan tidak sesuai indikasi medis dan tidak sesuai prinsip rujukan harus membayar sendiri," katanya.
Sebagai sistem baru, banyak tantangan pelaksanaan program ini. Jumlah warga tak mampu sangat besar dan berimplikasi pada besaran iuran yang ditanggung pemerintah serta kualitas layanan. Wilayah Indonesia yang sangat luas dengan kondisi geografis yang berbeda membuat layanan kesehatan belum merata.
Agar sistem ini berkelanjutan, dibutuhkan standar pelayanan, standar tarif, dan standar biaya. Namun, layanan medis di Indonesia masih banyak menghadapi persoalan dasar.
Manajer Unit Pelayanan Terpadu HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang juga Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Zubairi Djoerban mengatakan, pelayanan berlebihan (overuse), kurang pas (underuse), dan kurang tepat (mis- use) dalam memberikan layanan medik masih menjadi masalah. Hal itu terjadi dalam diagnosis, peresepan obat, tes laboratorium, atau prosedur layanan lain.
Zubairi juga menyoroti rendahnya gaji sebagian dokter umum. Di sekitar Jakarta masih banyak dokter umum yang bekerja di klinik berpenghasilan Rp 3 juta per bulan. "Padahal, mayoritas dokter di Indonesia adalah dokter umum," katanya.
Jumlah tenaga medis pun masih belum memenuhi rasio ideal dengan jumlah penduduk. Ditambah minat berobat masyarakat yang sangat tinggi akibat program pengobatan gratis di sejumlah daerah. Akibatnya, banyak dokter harus menangani pasien hingga 100 orang per hari atau berpraktik dari pagi hingga tengah malam. Ini akan menurunkan mutu layanan.
Ketua Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia Samsuridjal Djauzi yang juga Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI berharap, edukasi masyarakat ditingkatkan hingga mereka tidak terjebak dalam informasi layanan kesehatan tak benar. (MZW)