KOMPAS.com - Siapa yang tidak suka bila punya bawahan yang bersikap patuh? Kepatuhan anak buah kerap dijadikan indikator efektivitas kepemimpinan, bukan? Sasaran yang kita tetapkan bagi tim dan organisasi, memang hanya bisa dicapai bila bawahan mau menerima arahan, melakukan apa yang dikatakan oleh atasan.
Namun, bila bawahan patuh pada pemimpin semata karena alasan formal dan birokrasi, apakah kita tetap bisa mengatakan kepemimpinan kita efektif? Bayangkan betapa tegangnya hubungan dalam lingkungan kerja bila kepatuhan bawahan tidak didapatkan secara sukarela. Padahal, hubungan baik atasan-bawahan menjadi penentu dalam keberhasilan komunikasi, maupun coaching yang akan mewarnai keseharian atasan-bawahan.
Seorang pimpinan yang unit kerjanya mengurusi kualitas servis, secara tegas meminta bawahan untuk menservis dirinya sebagai atasan. Para bawahan diminta untuk melakukan setiap apa yang ia minta, meskipun tidak selalu terkait pelayanan seputar kebutuhan kerja, baik itu membukakan pintu, mengawal beliau dalam setiap kesempatan, menyajikan hidangan sesuai seleranya sebagai atasan, bahkan bila diperlukan, membawakan tasnya.
Pemimpin ini sebetulnya bertujuan baik, yaitu mengajarkan bahwa sikap menservis harus betul-betul menjadi darah daging individu. Namun demikian, memaksakan kepatuhan seperti itu ternyata tidak mempan untuk membuat individu "belajar" sesuatu, bahkan sebaliknya, membuat para bawahan terasa "melayani" dengan setengah hati, semata karena takut dimarahi. Tindakan memaksakan kepatuhan ini, bukankah malah memperlebar jarak yang ujung-ujungnya akan membuat pimpinan semakin merasakan fenomena "it's lonely at the top"?
Handry Satriago, yang membuat penelitian mengenai followership dalam disertasi doktoralnya, mengingatkan betapa dalam upaya meningkatkan efektivitas organisasi, kita tidak bisa sekadar menguatkan kepemimpinan saja, namun followership harus diperhitungkan. Orang bisa saja patuh, tetapi belum tentu mereka adalah follower yang sebenarnya. Pemimpin tidak bisa sekadar mengatakan "follow me" dan berharap bawahan rela dan mem-follow dengan hati.
"Followership" adalah kesukarelaan untuk bekerja dalam mencapai target, misi, sambil menunjukkan kerjasama dengan keinginan berkohesi tingkat tinggi. Follower tidak buta, mereka juga berespons secara rasional. Tanpa terasa sebenarnya ada kontrak psikologis antara atasan dan bawahan.
Deckop, Mangel dan Cirka, dalam paparannya, mengungkapkan tiga hal yang mempermudah atasan untuk menciptakan kontrak psikologis ini, yaitu: sikap menolong, kehati-hatian dan sportmanship. Dengan menunjukkan sikap ini, atasan bisa lebih bebas untuk menuntut bawahan berkinerja lebih di atas harapannya.
Seorang atasan, tidak mungkin mendapatkan followers yang kuat, bila ia tidak menaruh perhatian kuat ke setiap individu dalam timnya. Dalam banyak hal, pemimpin juga perlu memahami bawahannya, ketimbang bawahan yang harus memahami atasan. Inilah yang juga kita butuhkan untuk mendorong coaching bisa memberi dampak, tidak hanya bagi individu, tapi bagi kesuksesan atasan sendiri, juga tim.
Powerful "Buy In"
Kita tidak boleh lupa bahwa hal yang ditargetkan dan diupayakan oleh pemimpin bukan sekadar sikap manut, tapi lebih pada "powerful buy in". Bagaimana caranya?
Solusi atas suatu masalah tidak bisa sekadar kita suapkan pada bawahan, tapi perlu disampaikan dengan alasan yang masuk akal. Atasan bisa saja menginstruksikan dan memberi pengarahan sampai sedetail-detailnya, namun risikonya para coachee ini akan kehilangan imajinasi. Jadi, solusi harus "dijual" dengan pendekatan yang tepat, sehingga coach akan direspek oleh coachee-nya. Respek inilah dasar penerimaan coachee untuk menerima ide baru, kerangka pikir baru yang diusulkan si coach. Tinggal, secara aktif, sang coach menjaga respek dan ketajaman solusinya untuk menjaga hubungan saling percaya ini.
Bila kita sadar bahwa "buy in" coachee sebagai follower perlu diupayakan, yang juga bisa kita lakukan adalah membuat sasaran yang imajinatif, disertai wawasan dan ruang lingkup yang lebih luas. Saat sasaran terlihat, barulah bisa mengalir ide-ide untuk mencapai target ini, sehingga ada excitement dan tantangan dari pihak coachee. Sasaran juga tidak bisa diletakkan sebagai sebuah titik yang perlu dicapai, tetapi lebih pada sebuah ide.
Bila ide kita lengkapi dengan values serta "sense of responsibility", ide ini akan mempengaruhi keyakinan dan mental model para coachee. Dengan demikian, para coachee berkesempatan mendapatkan "aha experience"-nya sendiri, dan merasa bahwa sasaran adalah milik dan pengalamannya.
Handry Satriago yang sangat meyakini kekuatan followership, juga menyatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, bawahan atau para followers akan aktif memberikan feedback kepada pemimpinnya, dan bersama-sama memperbaiki kinerja organisasi.
"Active care" seorang coach
Banyak orang merasa bahwa "makan sepiring" dengan para coachee sudah merupakan kunci kebersamaan dan kepedulian. Padahal, ini baru langkah awal dari seorang coach untuk menunjukkan kesediaan untuk "hadir" bagi sang coachee. Kepedulian coach memang harus aktif, berbentuk tindakan, yang selalu membuktikan bahwa kita siap menolong, siap bersikap fair dan dapat diajak problem solving.
Di samping komunikasi elektronik yang canggih, kita perlu beraktivitas interaktif untuk menunjukkan bahwa pemimpin butuh bawahan, demikian pula sebaliknya. Untuk me-maintain situasi kondusif ini, seorang coach perlu terus menyamakan value dengan coachee. Kesamaan nilai ini akan sangat menguntungkan karena masing-masing coach dan coachee merasa berada dalam kapal yang sama dan ingin mengarahkan ke satu tujuan.
Saat kepatuhan diperoleh, dan bukan dipaksakan, inilah seorang pemimpin, dalam perannya sebagai coach, bisa menari bersama para coachee, menciptakan "interplay" yang dinamis, di mana kehati-hatian, care, efisiensi, dan efektivitas dimonitor bersama dan direspons secepatnya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini