KOMPAS.com - Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) menilai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah lalai dalam menjalankan fungsi mengawasi peredaran jamu yang mengandung bahan kimia obat (BKO). Meski sejak 2001 hingga 2012 BPOM sudah memberikan public warning tentang produk jamu berbahaya, namun produk jamu BKO ternyata masih beredar di pasaran.
Hasil temuan YPKKI di lapangan melalui survey di lima kota menunjukkan, jamu mengandung BKO yang sebelumnya pernah dilakukan penarikan oleh BPOM masih banyak ditemukan di pasaran.
"BPOM terkesan tidak serius dalam menangani jamu yang ditambah bahan kimia obat. Kalau hanya melakukan public warning, apa fungsi BPOM sebagai pengawas? BPOM kan bukan badan public warning," ujar Ketua YPKKI Marius Widjajarta dalam jumpa pers, Rabu (29/1/2013) di Jakarta.
Jamu memang produk yang digemari masyarakat dan keberadaannya turun menurun diwariskan. Namun budaya mencintai jamu ini telah disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang mencampur bahan alami jamu dengan BKO, sehingga mengakibatkan gangguan-gangguan kesehatan.
Gangguan kesehatan yang diperoleh dari mengonsumsi jamu dengan BKO antara lain, kata Marius, adalah penyakit jantung, ginjal, hati, stroke yang sangat berisiko tinggi kematian.
Ia juga menambahkan bahwa bahaya jamu dengan BKO bisa jadi lebih berbahaya dari narkoba, karena juga mengakibatkan adiksi. Namun, pemerintah belum terlalu peduli dengan hal ini. YPKKI sendiri mengaku sudah sering mengingatkan BPOM akan hal ini, namun belum mendapatkan respon yang diharapkan. Oleh karenanya, "ini terakhir kalinya kami memberi peringatan, jika tidak ada respon juga, selanjutnya kami akan melakukan somasi," katanya.
Dijelaskan Marius pula, tindakan BPOM yang mengabaikan peredaran jamu dengan BKO ini melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yang dikenakan sanksi pidana maksimal 5 tahun penjara, atau administratif maksimal Rp 2 Miliar.
Ketua GP Jamu Charles Saerang mengatakan, jika BPOM masih tidak mampu melakukan pengawasan sendiri, BPOM dapat mengadakan kerja sama lintas sektor. "Seperti di DKI Jakarta, untuk lokasi penjualan obat bisa libatkan gubernur, pengawasannya bisa libatkan kepolisian," ungkapnya.