JAKARTA, KOMPAS.com - Permasalahan gizi di Indonesia tidak hanya dialami oleh masyarakat miskin, melainkan hampir merata di semua tingkat pendapatan. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan, dari 5 tingkat penggolongan pendapatan masyarakat di Indonesia, gizi buruk atau kurang masih ditemukan.
"Ada beberapa indikasi dari gizi buruk atau kurang, antara lain berat badan kurang, stunting (anak bertumbuh pendek), dan kelebihan berat badan," papar Ketua Sub Bina Gizi Makro Kementerian Kesehatan Mohammad Nasir dalam talkshow bertajuk 'Gizi Seimbang untuk Kesehatan dan Kecerdasan Anak' di Jakarta, Rabu (6/2/2013).
Data tersebut menyebutkan untuk golongan pertama yaitu golongan termiskin, masih ditemukan gizi kurang untuk indikasi berat badan kurang sebanyak 28,6 persen, stunting 47,8 persen, kelebihan berat badan 12,4 persen; golongan kedua untuk berat badan kurang 19,9 persen, stunting 42,4 persen, kelebihan berat badan 12,4 persen; golongan ketiga untuk berat badan kurang 17,3 persen, stunting 37,9 persen, kelebihan berat badan 12,9 persen; golongan empat untuk berat badan kurang 15,6 persen, stunting 34,4 persen, kelebihan berat badan 14,2 persen; dan golongan lima untuk berat badan kurang 10,8 persen, stunting 28,9 persen, dan kelebihan berat badan 14,9 persen.
"Permasalahan gizi masih merata. Logikanya jika pendapatan baik, jarang ditemukan adanya kekurangan gizi, namun nyatanya masih ada. Sebaliknya, di masyarakat miskin malah ditemukan kelebihan badan," ungkap Nasir.
Menurut Nasir, gizi merupakan indikasi penting kesehatan. Oleh karena itu, untuk menjadikan masyarakat sehat, gizi penting untuk diperbaiki. Nasir menambahkan, Indonesia memiliki tiga prasyarat menuju keadaan gizi individu dan masyarakat yang lebih berkualitas. Pertama adalah setiap individu mendapatkan akses terhadap informasi gizi melalui Gerakan Nasional Sadar Gizi.
"Masyarakat perlu mendapatkan kemudahan untuk mengakses informasi tentang gizi," katanya.
Kedua, setiap individu mendapatkan akses terhadap pangan melalui peningkatan produksi pangan dan perbaikan pendapatan. Dan yang ketiga, setiap individu mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan melalui reformasi pembangunan kesehatan.