KOMPAS.com - Laporan investigasi organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia yang berjudul "Toxic Threads: Meracuni Surga" mengungkapkan sejumlah fakta bahwa industri tekstil berperan dalam pencemaran air. Industri tekstil saat ini menjadi salah satu kontributor utama polusi air oleh bahan tekstil kimia yang beracun di Jawa Barat.
"Limbah tekstil ini meracuni daerah aliran sungai (DAS) Citarum, dan mengubahnya menjadi sungai warna-warni. Parahnya, sekitar 68 persen pabrik industri tekstil berpusat di bagian hulu DAS Sungai Citarum, maka bayangkan saja seberapa besar pencemarannya," ungkap Ashov Birry, Juru Kampanye Air Bebas Racun, Greenpeace Asia Tenggara, di kantor Greenpeace, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (17/4/2013) lalu.
Limbah tekstil yang dibuang ke sungai ini sebagian besar disebabkan oleh proses pewarnaan dengan menggunakan pewarna kimia, bahan pembuatan polyester, dan lain-lain. Limbah-limbah ini mengandung berbagai zat berbahaya termasuk Nonylphenol (NP), Nonylphenolethaoxylates (NPE), Tributyl Phospate (TBP) dan Antimony, dan bisa menyebabkan penyakit kanker, gangguan hormon, dan bersifat toksik.
"Limbah murni yang bersifat sangat basa atau kaustik ini akan membakar kulit," tambahnya.
Sampai sekarang, masalah pencemaran akibat tekstil ini masih terus terjadi karena kurangnya pengawasan pemerintah untuk mengontrol pembuangan limbah berbahaya yang belum diolah ke lingkungan. Greenpeace sendiri menghimbau pemerintah untuk lebih konsisten dan serius dalam mengatasi masalah ini.
"Pemerintah selama ini hanya mengontrol jumlah polutan yang ada dalam air. Padahal harusnya, serendah apapun kadar polutan ini tidak bisa ditolerir," ungkap Longgena Ginting, Ketua Greenpeace.
Investigasi Greenpeace terhadap kerusakan lingkungan akibat industri fashion ini sudah dilakukan sejak tahun 2011 melalui kampanye Detox. Namun, hasil penelitian sebelumnya membuktikan bahwa banyak merek fashion internasional ternyata juga terlibat dalam kasus ini.
"Sejak awal kampanye dimulai kami sudah meminta brand fashion tersebut untuk mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya yang bisa mencemari lingkungan sekitar pabriknya. Namun, belum semuanya memberikan tanggapan positif dan berkomitmen terhadap Detox. Jika terus seperti ini, bisnis fashion bisa menjadi bisnis yang 'kotor'," sesal Ashov.
Menanggapi kasus pencemaran sungai akibat industri tekstil yang tidak bertanggung jawab, desainer Barli Asmara juga mengungkapkan ketidaksetujuannya.
"Pada dasarnya semua manusia membutuhkan tekstil untuk pakaian dan lain-lain. (Namun) Tidak bisa dibilang kalau bisnis fashion adalah bisnis yang 'kotor' karena tidak 100 persen pelaku industri nakal dan tidak bertanggung jawab. Jika ada aturan baku dari pemerintah yang dengan tegas melarang dan memberikan sanksi kepada industri yang melanggar pencemaran, pasti tidak ada lagi oknum nakal yang berani melanggar," ungkapnya kepada Kompas Female, saat talkshow "Creme De La Creme" di Canteen, Pacific Place, Jakarta, Rabu (17/4/2013) lalu.
Selain menghimbau pemerintah untuk memperketat pengawasan, ia juga menyarankan kepada para desainer agar lebih sadar menjaga lingkungan.
"Pemerintah sekarang ini sudah berencana untuk menggalakkan ecofashion. Gerakan ini tak akan berhasil bila tak didukung oleh desainer dan pelaku industri fashion lainnya. Tak cukup hanya dengan menggunakan pewarna alami saja, desainer juga dituntut untuk berinovasi dengan busana yang ramah lingkungan, misalnya pakaian dari serat tumbuhan," tambahnya.
Editor :
Dini