KOMPAS.com - Mundurnya sejumlah rumah sakit swasta dari kemitraan Kartu Jakarta Sehat (KJS) menyebabkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengevaluasi kembali program berobat gratis bagi warga ini.
Sistem pembayaran dengan menggunakan Indonesia Case Base Group (INA-CBG's) dinilai sebagai salah satu penyebab mundurnya rumah sakit swasta yang mengaku menanggung kerugian. Sistem pembayaran yang baru diberlakukan sejak April lalu ini membuat klaim rumah sakit jauh di bawah ketentuan tarif yang diberlakukan. Rata-rata klaim untuk rawat inap hanya dipenuhi 59 persen, sementara untuk klaim rawat jalan diklaim 50 persen.
Besaran tarif premi yang hanya Rp. 23 ribu juga dianggap terlalu kecil, dan tidak mampu menutupi biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Wagub DKI Basuki Tjahja Purnama mengakui besaran premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) hanya Rp 23.000 per bulan tidak cukup. Ia bahkan sudah memprediksi, minimnya premi ini akan membuat banyak rumah sakit swasta keberatan.
Namun hal berbeda diungkapkan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia Prof. Hasbullah Thabrany. Menurutnya, premi sebesar Rp 23.000 per bulan sebenarnya sudah cukup untuk memenuhi pelayanan. Nilai premi tersebut juga sudah dapat menutupi biaya operasional rumah sakit.
"Sebetulnya biaya tersebut cukup, meski tidak ideal. Biaya ini terutama untuk proses pengobatan non bedah," kata pengamat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini, Selasa (21/5/2013), di Jakarta.
Hasbullah mengatakan, biaya tersebut memungkinkan kalangan ekonomi menengah ke bawah mendapat manfaat maksimal pengobatan. Pengobatan akan diberikan sesuai penyakit yang diderita, sehingga pasien tidak perlu berlama-lama di rumah sakit.
"Premi 23 ribu memang membuat marginal revenue rumah sakit turun. Tapi hal ini juga tidak lantas mematikan rumah sakit," kata Hasbullah.
Tetapi diakui Hasbullah, dengan nilai premi tersebut keuntungan yang diperoleh rumah sakit menjadi tidak besar. Keuntungan yang mengecil ini lah yang kemungkinan belum bisa diterima kalangan pengusaha rumah sakit.
Terkait hal ini, Hasbullah menyarankan, pemerintah dan rumah sakit duduk bersama dan membicarakan keberatan yang dialami pengusaha terutama margin keuntungan yang diterima
Sementara dengan premi Rp. 50 ribu, menurut Hasbullah tetap lebih ideal. Dengan premi ini pelayanan bisa lebih maksimal, karena dapat menjangkau tindakan bedah. "Tapi memang perlu dibicarakan lagi tindakan bedahnya. yang jelas tindakan bedah tidak cukup kalau hanya Rp 23 ribu," katanya.
Pembayaran dengan sistem INA CBG's sendiri sebenarnya merupakan pola pembayaran yang akan diberlakukan secara nasional untuk program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ada 1 Januar 2014 mendatang. Kartu Jakarta Sehat merupakan model percontohan nasional untuk sistem pembayaran ini.
Seperti dilansir laman resmi PT Askes, INA CBG's merupakan sistem pembayaran kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang dikelompokkan (groupped) berdasarkan ciri klinis yang sama dan pemakaian sumber daya (biaya perawatan) yang sama. Ini berbeda dengan sistem pembayaran berdasarkan jumlah layanan (free for service) atau sistem pembayaran paket yang dikelompokkan berdasarkan layanan sejenis misalnya paket laboratorium, paket radiodiagnostik, paket tindakan, paket operasi dan lain-lain.
Pola tarif INA-CBGs paling signifikan dipengaruhi diagnosa primer. Variasi tarif juga bisa terjadi dalam satu diagnosa primer, hal ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan (severity level) sesuai diagnosa-diagnosa sekunder dan prosedur-prosedur tindakan dalam satu kasus/episode. Semakin parah, maka biayanya akan semakin tinggi walaupun dengan diagnosa primer yang sama.
Pola pembayaran dari sistem ini adalah prospective payment dimana biaya sudah ditentukan sebelum layanan diberikan. Berbeda dengan pola pembayaran Askes, yang pembayarannya dilakukan berdasarkan jenis pelayanan atau paket pelayanannya. Pada pola INA-CBGs, dikenal dengan tarif per episode kasus yang ditentukan oleh Kode INA-CBGs.
Pembayaran per kode INA-CBGs ini meliputi biaya dari mulai pasien masuk rumah sakit sampai pasien pulang atau sembuh. Satu tarif dibayarkan sekaligus untuk seluruh komponen pelayanan yang meliputi pemeriksaan dokter, penunjang diagnostik (laboratorium, radiodiagnostik, elektromedik, dll), dan obat-obatan, serta akomodasi kelas rawat untuk pasien rawat inap.