KOMPAS.com - Dengan koleksi desain yang bagus serta kiprah di dunia internasional yang tidak diragukan lagi, desainer Biyan punya banyak kesempatan untuk menjajaki dunia fashion global dan berkiprah di kota yang menjadi kiblat mode. Tetapi dia memilih tetap berada di Indonesia. Katanya, sejauh perjalanan ia berkarya, makin tumbuh rasa bangga dengan Indonesia, dan optimistis akan masa depan modenya.
Bagaimana rasanya menjajak waktu hingga 30 tahun berkarya di dunia fashion dan tetap tinggal di Indonesia?
"Waktu yang lama. Ibarat perjalanan, selama 30 tahun menjalani profesi yang saya cintai, yakni fashion membuat saya bangga dan bersyukur," ujar Biyan, dalam perayaan 30 tahun dia berkarya, di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2013).
Kebanggaan itu tumbuh karena pada akhirnya dia bisa bertahan dan terus berkarya di negeri sendiri dengan tim yang juga semua orang Indonesia. Padahal di awal mula, ia sempat meragu.
"Semua yang mendukung saya sejauh ini adalah orang Indonesia, jadi meski sekecil apa pun yang saya lakukan, menuju pada satu hal yakni untuk perkembangan mode Indonesia," tegasnya yakin.
Meski sudah berkiprah lama bukan berarti semua menjadi lebih mudah. Biyan tetap mengaku masih bekerja keras. Maka, jika kemudian koleksinya mulai dilirik pasar internasional dan kemudian didistribusikan di kota mode seperti Paris, ini menjadi tantangan yang lebih besar (baca: Biyan Wanaatmadja, Bersyukur Tak Harus ke Paris).
Tantangan itu misalnya dari menyikapi perbedaan budaya dalam berbusana, serta tren yang mengacu pada perubahan musim. Jika biasanya di Indonesia hanya untuk satu musim panas saja, tapi untuk ke luar negeri ia harus menyiapkan koleksi empat musim.
"Saya lakukan yang terbaik, karena meski punya empat musim bukan berarti minat mereka sesuai musim, bisa jadi berubah-ubah," tuturnya.
Produksi Biyan makin bertambah di setiap koleksi. Untuk Spring/Summer misalnya, ia menyediakan 300 item, lalu pada musim berikutnya 200 item.
"Sampai saat ini saya selalu mencoba untuk belajar, mengetahui apa yang sudah ada, dan terus berusaha menjadi lebih baik," ujarnya menambahkan.
Biyan juga tak sungkan untuk mencoba mengerti apa yang diinginkan pelanggan. Bahkan membayangkan dirinya sebagai seorang wanita yang bila dihadapkan pada desain seorang Biyan.
"Untuk bisa di posisi sekarang, saya enggak punya resep yang 'wah' dan muluk-muluk, jalani aja dengan terus berusaha," ujarnya.
Bagi Biyan, Indonesia berbeda dengan negara lain, karena orang-orangnya sangat bisa memberi perhatian pada busana yang dikenakan. Sembari menjaga tradisi, mereka juga mau menerima perkembangan fashion di dunia luar.
"Makin tumbuhnya jumlah desainer juga makin menjanjikan. Ini baik untuk perkembangan mode di Indonesia," ujarnya.
Menjadi desainer Indonesia, menurutnya tidak ada satu keharusan memanfaatkan kain tradisional. Masing-masing punya tujuan yang bisa jadi berbeda-beda, mau melestarikan atau mengenalkan kain tradisi ke dunia internasional. Namun ketika tidak menggarap kain tradisi bukan berarti minim nasionalisme.
Memperingati 30 tahun perjalanannya, Biyan merilis koleksi yang ia beri tajuk "Postcard". Ini terinspirasi dari perjalanan yang sudah ia tempuh dan bagaimana kartu pos pernah menemani hari-harinya.
Ke depan, Biyan memberi bocoran bahwa dia bersama Cita Tenun Indonesia juga sedang bekerjasama untuk mengolah koleksi dari songket Palembang.
Editor :
Dini