KOMPAS.com - Tawaran diskon di hampir semua pusat perbelanjaan memang sulit untuk ditolak. Alasan kebutuhan untuk tampil menarik di hari raya menjadi pembenaran bagi kita untuk berbelanja habis-habisan, terlebih uang THR sudah siap di kantong.
Tetapi, berhati-hatilah jika Anda tidak bisa mengerem keinginan untuk berbelanja. Apalagi jika Anda cenderung membeli barang-barang yang tidak diperlukan hanya karena tidak tahan melihat barang-barang "lucu" di toko. Boleh jadi Anda termasuk dalam kelompok shopaholic alias si gila belanja.
Hasrat belanja yang sulit dikendalikan bisa menjerumuskan kita pada berbagai masalah, baik itu emosional atau finansial tentunya. Namun seperti halnya perokok, tidak mudah bagi si gila belanja untuk melepaskan kebiasaan buruk tersebut.
Apa yang sebenarnya menyebabkan orang menjadi shopaholic? Sebuah studi baru asal San Francisco State University mengindikasikan, beberapa kelakuan menyimpang mungkin memicu belanja berlebihan.
Peneliti studi yang juga profesor psikologi Ryan Howell mengatakan, banyak studi yang menunjukkan shopaholic berhubungan dengan nilai materialistis. Namun studi-studi tersebut belum menunjukkan alasan mengapa demikian. "Studi ini membantu menjelaskan, kenapa orang materialistis cenderung berbelanja dengan kompulsif," ujarnya.
Studi yang dipublikasi dalam Journal of Economic Psychology ini menyatakan, kecanduan belanja bukan berhubungan dengan jenis kelamin, kepribadian, usia, atau pendapatan, melainkan dengan pengelolaan kartu kredit yang buruk. Menurut para peneliti, shopaholic biasanya tidak membayar tagihan kartu kredit tepat waktu dan cenderung abai pada peraturannya.
"Karena kartu kredit memungkinkan orang untuk belanja tanpa memilihat uang secara fisik, maka pola pikir orang yang berbelanja dengan kartu kredit mungkin berbeda dengan orang yang tidak," jabar para peneliti.
Studi ini melibatkan 1.600 orang yang ditanyai tentang pengelolaan uang, kebiasaan berbelanja, dan apapun yang menunjukkan tingkat materialitis mereka. Mereka yang shopaholic mengaku lebih segar setelah berbelanja. Mereka percaya berbelanja membantu mereka lebih percaya diri dan menunjang penampilan, reputasi, dan hubungan mereka.
Dalam buku An Unquiet Mind, psikolog Kay Redfield Jamison mendeskripsikan apa yang ada dalam pikiran shopaholic: "Saat sedang "tinggi", aku tidak khawatir akan uang. Uang akan datang dari mana saja. Aku berhak mendapat uang, Tuhan akan memberinya."
Sementara itu, studi tahun 2005 asal Kroasia menunjukkan sekitar dua hingga delapan persen dari populasi dunia mengalami gangguan berbelanja kompulsif. Dan seringnya, gangguan ini dipengaruhi oleh mood, kecemasan, dan gangguan makan. Sehingga terapi dengan antidepresan terbukti bermanfaat bagi mereka.
Meski gangguan psikologi mungkin menjadi akar masalah kecanduan berbelanja, para peneliti menyarankan mereka untuk belajar mengelola kartu kredit mereka. "Anda dapat mengontrol perilaku berbelanja Anda dengan memberikan perhatian pada kartu kredit dan memeriksa apakah Anda berbelanja hanya demi alasan emosional belaka," pungkas para peneliti.