KOMPAS.com - Orang yang mengalami peristiwa traumatik rentan mengalami gangguan kejiwaan. Gangguan ini menyebabkan ketidakstabilan emosi dalam dirinya. Seperti yang terjadi pada korban penyekapan Taman sari, Jakarta Barat. Korban penyekapan rentan mengalami gangguan kejiwaan pascatrauma. Hal yang sama juga rentan dialami korban peculikan, pemerkosaan, atau bencana alam.
"Peristiwa traumatik mengakibatkan korban berisiko besar mengalami gangguan kejiwaan. Bila terjadi kurang dari satu bulan disebut reaksi stres akut. Namun bila terjadi lebih dari satu bulan disebut gangguan stres pasca trauma," kata psikiater dr Andri, SpKJ pada Jumat (20/9/2013).
Selama satu bulan tersebut, kata Andri, korban terus mengalami mimpi buruk. Korban juga tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan terus dibayangi peristiwa buruk yang dialami.
Andri menyarankan korban segera dibawa ke psikolog klinis atau psikiater. Psikolog klinis atau psikiater akan membantu memperbaiki kondisi emosional dan fungsi otak korban.
"Dengan pengobatan dan konseling yang dilakukan yang segera dilakukan, diharapkan penderita lebih cepat pulih," kata Andri.
Lebih lanjut Andri mengatakan, gangguan ini memiliki gejala yang khas. Penderita akan terus mengalami flashback, yang memungkinkannya kembali merasakan (re-experience) hal buruk yang dialaminya. Akibatnya penderita bisa mengalami kecemasan akut yang ditandai sesak nafas, keringat dingin, menggigil, hendak pingsan, atau menangis.
Flashback yang terus dialami juga memungkinkan penderita mengalami ketakutan pada hal tertentu. "Para korban Tsunami Aceh 2004, misalnya, takut pada bunyi 'blebek-blebek' saat mulut botol dimasukkan ke air. Bunyi ini mengingatkannya saat tengah tenggelam diterjang ombak," kata Andri.
Kondisi ini menyaratkan korban mendapat dukungan penuh dari keluarga. Dengan dukungan penuh, penderita lebih cepat melupakan peristiwa buruk yang dialaminya. Andri juga menyarankan keluarga tidak menyalahkan atau mengungkit kembali peristiwa menyakitkan tersebut.
Hal yang sama juga disarankan kepada pihak kepolisian yang hendak menginterogasi korban. "Sebaiknya tanyakan cukup sekali dan detail. Bila hendak menyakan kembali pastikan ada pendampingan dari psikolog klinis atau psikiater. Tidak mudah membuka kembali peristiwa tidak menyenangkan yang dialami korban," kata Andri.
Andri mengatakan, kendati bisa sembuh, durasi pengobatan tidak sama pada setiap korban. Hal ini didasarkan pada karakter dan kemampuan adaptasi korban. Bila korban berkepribadian tangguh dan mudah beradaptasi, maka waktu penyembuhan akan semakin cepat. Hal ini juga bergantung pada apakah korban pernah mengalami gangguan kejiwaan sebelumnya.
"Bagaimanapun kondisinya secepat mungkin bawalah ke psikolog klinis atau psikiater, apalagi bila terus mimpi buruk. Penanganan yang segera dilakukan akan menghasilkan kesembuhan yang lebih cepat," kata Andri.