TEMPO Interaktif,:- Rida, mahasiswi Akademi Gizi Poltekes Jakarta, sesekali mengusap keringat di keningnya. Namun panas lembab udara Desa Jungkat, Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak, Propinsi Pontianak Kalimantan Barat tak cukup mengendurkan semangatnya saat melakukan tugasnya, pekan lalu.
Ia bahkan terlihat cukup sabar saat mengukur, menimbang dan memeriksa Tiara, salah satu balita di desa itu yang menjadi sampel penelitiannya. Sesekali Rida tampak membujuk Tiara yang kadang tampak malu-malu menggelayut pda ibundanya. "Senang-senang saja kok, karena ibu-ibu kader Posyandu di sini sangat membantu," kata perempuan berkerudung ini.
Rida dan empat periset lain adalah tim peneliti untuk riset tentang kondisi gizi anak Indonesia, Studi South East Asia Nutrition Survey (SEANUTS) yang diprakarsai oleh Frisian Flag Indonesia. Sesuai namanya penelitian ini tak hanya di Indonesia, tapi serentak juga di Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Memang bicara soal kondisi kesehatan Indonesia sudah punya data dari Riset Kesehatan Dasar 2007 dan 2011. Riset itu hanya berdasarkan antopometri saja. Belum lagi masih bercampur dengan soal sanitasi, penyakit menular dan tidak menular dan sebagainya, kata Kepala Riset Persatuan Ahli Gizi Indonesia, dokter Sandjaya.
Penelitian antopometri, mengukur seperti berat badan, tinggi badan, tinggi badan dalam posisi duduk, lingkar lengan tengah atas, lingkar kelapa, ketebalan kulit luar, dan sebagainya.
Sementara SEANUTS, menurut ahli gizi itu, lebih komprehensif dan terkonsentrasi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 12 tahun. Seperti identifikasi tingkat konsentrasi serum lipid dan serum mikronutrien termasuk zat besi, vitamin B12 A dan D.
Juga diteliti pola asupan makanan, aktifitas fisik, kepadatan dan kematangan tulang, pertumbuhan, fungsi kognitif, dan kekurangan konsumsi. Semua anak juga menjalani tes darah untuk mengukur status zat besi, kadar vitamin B, A, dan D, lipid dan analisa DHA atau asam lemak,kata dokter Sandjaya.
Ditiap negara SEANUTS bermitra dengan lembaga independen setempat. Menurut Corporate Research and Development Manager Frisian Flag Victoria Valentina, ada kecenderungan usaha memerangi masalah gizi menghadapi beban ganda. Mulai dari soal kekurangan zat gizi makro seperti pada kekurangan energy protein dan kekurangan mikronutrien seperti vitamin A, yodium, dan zat besi. Namun, di sisi lain, terjadi peningkatan kasus gizi berlebih.
Gizi kurang atau buruk, menurut dokter Sandjaya pasti akan mempengaruhi tingkat intelegensia anak. Pada anak gizi buruk kecerdasan bisa turun dan hingga 11-13 poin dan tak bisa dikembalikan lagi,katanya. Diperkirakan 2-3 persen anak Indonesia, mengalami masalah tersebut. Bisa diperkirakan kita akan bisa mengalami lost generation,ujar Sandjaya.
Riset kesehatan dasar 2010 menyebut, ada 17,9 persen anak balita Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Sementara anak gemuk ada 14 persen. Secara nasional jumlah anak yang mengalami pendek tertinggi terjadi pada usia 6-12 tahun, yaitu 35,8 persen.
"Pemerintah bukan tidak tahu, survei sudah dilakukan, tapi ada celah yang masih ada,kata Sandjaya. Nah, riset SEANUTS berusaha memperoleh pengetahuan bukan hanya status gizi anak-anak tapi juga pola makan. Periset di Pusat Penelitian Pengembangan Gizi Bogor ini yakin bahwa status gizi anak juga berkaitan dengan perilaku dan status sosial ekonomi keluarga.
I UTAMI WIDOWATI