KOMPAS.com - Perempuan dan laki-laki sama-sama menderita ketika mengetahui pasangannya selingkuh. Anda dan dia sama-sama berjuang mengatasinya, namun meresponsnya dengan cara yang berbeda.
Perbedaan cara ini tak mutlak, karena cenderung dipengaruhi kebiasaan dan penstereotipan perempuan dan laki-laki sejak belia. Perempuan dan laki-laki bisa saling memelajari cara masing-masing, agar bisa saling memperbaiki diri juga hubungan. Selain juga agar perempuan tak tenggelam dalam drama, dan laki-laki pun bisa belajar mengelola perasaannya lebih baik lagi.
Dia: Cenderung tak bisa melupakan. Anda: Pintar bermain perasaan, lebih cepat sembuh. Pria terlihat cepat sekali melupakan perselingkuhan pasangannya. Tapi jauh di dasar hatinya sebenarnya tidak begitu. Pria, sejak kecil, diperlakukan berbeda. Budaya membuat pria harus tampil sebagai sosok kuat dan tegar, tidak boleh menunjukkan perasaan termasuk menangis.
Tapi stereotip ini justru membuat pria tidak pandai menangani masalah perasaannya. Apalagi pria cenderung tidak multitasking sehingga hanya bisa memilih salah satu "feeling mode" atau "thinking mode". Saat pria merasa sakit akibat putus cinta, mereka masuk ke dalam "feeling mode", dan menjadi berlebihan dengan perasaannya itu. Akibatnya kaum pria menjadi "lumpuh" atau sangat marah.
Pria cenderung tidak bisa mengeluarkan isi hati dan menarik diri. Lalu melakukan penyangkalan, dan mengalihkannya ke hal lain, misalnya pekerjaan. Ini juga dilakukan untuk segera melarikan diri dari perasaan sakit. Tapi, sesungguhnya perasaan yang dipendam itu tidak pernah sembuh.
Sedangkan perempuan, dengan kemampuan multitasking, bisa menangani perasaan dengan lebih baik karena bisa berpikir dan merasakan pada saat bersamaan.
Perempuan lebih banyak mengekspresikan emosi dan lebih lihai mengutarakan perasaan. Walaupun terkesan lebih drama, banyak menghabiskan tisu untuk air mata, tapi bisa melakukan resolusi penyembuhan lebih cepat ketimbang pria.
Dia: Lebih agresif membuat keputusan. Anda: Menuntut penjelasan sebelum bertindak. Kebanyakan pria bertindak agresif begitu merasa dikhianati. Pria cenderung gampang sekali meledak dan membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan. Mereka tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar, apalagi ketika egonya terusik. Namun, seperti dikatakan di awal, kecenderungan ini tak bersifat mutlak. Tergantung kemampuan pria mengelola emosinya.
Sementara, reaksi perempuan lebih beragam dari sekadar sedih dan menangis, hingga agresif. Ada yang memilih mengabaikan perselingkuhan dan melanjutkan hidup mereka, ada juga yang segera memilih putus. Namun bagi perempuan, penjelasan menjadi sesuatu hal yang penting mereka dapatkan sebelum mengambil keputusan.
Perempuan cenderung mengkonfrontasi pasangan, menuntut penjelasan, mencari penyebab, baru kemudian bertindak. Bahkan sebuah perselingkuhan kecil menimbulkan daftar pertanyaan yang panjang. Pertanyaan yang selalu muncul di antaranya: apakah dia selingkuh karena saya mengabaikannya? pengaruh teman-temannya? atau memang sifatnya yang penggoda? Perempuan juga cenderung ingin tahu tingkat perselingkuhan itu, apakah fisik, emosional, stabil, mendalam, beberapa kali, atau hanya one night stand?
Karena pemikirannya yang kompleks, perempuan pun kadang terjebak dengan emosinya. Sekali lagi, ini tak mutlak karena tak semua perempuan memiliki masalah emosi yang sama. Karenanya, perlu dipahami bahwa, stereotip terhadap perempuan sebagai makhluk lemah, cengeng, bukanlah penyifatan mutlak dalam diri perempuan. Hal ini bisa diubah, perempuan pun bisa kuat seperti budaya yang membentuk pria sebagai sosok kuat dan tegar.
Dia: Sulit memaafkan. Anda: Mudah memaafkan dengan banyak syarat. Memaafkan adalah reaksi paling kerap dilakukan oleh perempuan. Sementara pria tidak mudah memaafkan. Jika pasangan mengakui perselingkuhannya secara langsung, perempuan cenderung mudah memaafkan. Boleh jadi, kemampuan perempuan mengelola perasaan, membuatnya lebih peka.
Namun, memaafkan bukan berarti tanpa waspada. Perempuan cenderung berhati-hati dalam menjalani hubungannya, tak ingin lagi terluka perasaannya dengan mengajak pasangan memperbaiki hubungan. Bagi sebagian perempuan, perselingkuhan bisa jadi membuatnya cenderung mengekang kebebasan pasangan dibandingkan sebelumnya, dan menjadi lebih gampang curiga. Namun hal ini juga bisa terjadi pada laki-laki.
Prinsipnya, bukan karena dia perempuan dan laki-laki, tetapi lebih kepada bagaimana perempuan dan laki-laki tersebut mengelola emosinya yang dipengaruhi budaya pelabelan yang sejak kecil melekat dalam dirinya.
Karena perempuan cenderung diperlakukan sebagai sosok lemah lembut penuh perasaan sejak kecil, alhasil, emosi lebih menguasai dirinya dalam merespons berbagai masalah. Sementara laki-laki, yang sejak kecil, dibiasakan dalam keluarga menjadi sosok tegar, kuat, tak diizinkan menggunakan perasaan, akhirnya tumbuh sebagai orang dewasa yang kurang peka. Namun, pelabelan ini bisa berubah, perempuan bisa menguatkan dirinya, laki-laki pun bisa melatih kepekaan dan mengelola perasaan lebih baik lagi.
(Majalah Chic/Gracia Danarti)