Kesehatan pria (doc Corbis)
VIVAnews - Salah satu efek yang muncul dari gangguan prostat adalah mengompol atau dalam istilah medis disebut inkontinensia. Faktor penyebabnya antara lain pembesaran prostat jinak, penyakit overactive bladder (OAB) yakni berkemih dengan atau desakan ingin berkemih, penyakit saraf, sejarah operasi prostat, nyeri, dan radiasi prostat.
Sebenarnya secara umum, pembesaran prostat jinak tidak menyebabkan inkontinensia. Bila terjadi, biasanya karena penyakit yang sudah lanjut sehingga menyebabkan sumbatan prostat menahun. Awalnya, penderita akan mengalami urin menetes usai buang air kecil.
"Jika semakin parah, penderita akan mengalami keluarnya sebagian urin secara tidak terkontrol, saat kandung kemih penuh. Itu karena otot-otot kandung kemih lemah dan biasanya disertai dengan kesulitan buang air kecil," kata Dr. dr. Nur Rasyid, SpU, Kepala Departemen Urologi RSCM-FKUI dalam media edukasi bertema "Lakukan Tindakan Tepat Untuk mengatasi Inkontinensia" di Jakarta.
Sedangkan, pemicu mengompol lainnya yaitu OAB dicirikan dengan adanya desakan yang kuat untuk buang air kecil dengan atau tanpa adanya urin yang keluar. Ini mengakibatkan frekuensi ke toilet lebih sering dan terbangun untuk buang air kecil di malam hari.
Pada pria dengan pembesaran prostat jinak, gejala OAB merupakan bagian dari sindroma gangguan berkemih (lower urinary tract symptoms atau disingkat LUTS). Kondisi tersebut akibat sumbatan prostat yang menahun.
Untuk penanganan inkontinensia pada pria, lebih rumit dibandingkan wanita. Itu karena setelah melewati otot dasar panggul, urin masih harus melewati prostat sebagai pipa saluran. Gangguan bisa terjadi karena pembengkakan prostat atau masalah pada pompa kandung kemih.
Dalam mengatasi masalah ini, dokter biasanya meminta pasien mengisi bladder diary (diari buang air kecil) yang berisi tentang frekuensi buang air kecil, asupan jenis air yang diminum. Termasuk jumlahnya serta seberapa banyak volume urin yang keluar.
Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan urin dan fisik dengan menggunakan uroflowmetry dan urodynamic untuk mengetahui jenis gangguan inkontinensia. Selama tiga bulan terapi non-bedah, pasien akan diberi obat sesuai diagnosa awal dan digabungkan dengan terapi perilaku.
"Terapi perilaku sangat penting dalam pengobatan karena kesembuhan juga sangat tergantung dari konsumsi cairan yang masuk ke dalam tubuh," ujar Dr. Nur Rasyid, SpU.
Pasien juga dianjurkan untuk memenuhi cairan tubuh sesuai kebutuhan, normalnya pada orang dewasa adalah 2000 cc. Dan, diatur untuk tidak minum banyak pada malam hari menjelang tidur. Termasuk menghindari tidak meminum minuman yang memicu meningkatnya frekuensi buang air kecil seperti kopi, teh, soda, dan alkohol. (eh)
• VIVAnews
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.
' ); $.ajax({ type: "POST", url: "/comment/load/", data: "valIndex=" + a + "&articleId=" + b + "&defaultValue=" + c, success: function(msg){ $("#loadkomen").html(msg); //$(".balasan").hide(); } }) }