KOMPAS.com - Siapa bilang buah-buahan asli Indonesia kalah menggiurkan dari buah impor? Buktinya, manggis "made in" Indonesia laris di pasar dunia. Begitu eksotiknya manggis hingga si bulat ungu ini dijuluki "The Queen of Tropical Fruit".
Di balik kulitnya yang keunguan atau agak coklat tersimpan daging putih bersih. Perpaduan rasa manis dan asam dalam tekstur daging yang lembut, berair, terasa begitu menyegarkan. Uniknya, jumlah daging buahnya bisa dihitung dari kelopak yang ada di pangkal buah.
Tak puas karena biji manggis yang besar? Jangan salah, keanekaragaman plasma nutfah negeri ini memunculkan pula jenis manggis tak berbiji yang disebut malakensis. Ukurannya lebih kecil dibandingkan manggis pada umumnya. Buah yang pohon induknya terdapat di Riau, Jambi, dan Malaka ini juga biasa disebut baby mangosteen.
Selain malakensis, ada pula mundu (manggis kuning) dan beruas atau manggis berwarna oranye. Juga ada mundar yang sebesar telur ayam dengan kulit berwarna merah cerah, kontras dengan daging putih bersih di dalamnya. Buah yang tekstur dagingnya agak bertepung ini ditemukan di Kalimantan Selatan.
Sayang, mendapatkan varian manggis seperti itu di pasar masih cukup sulit karena belum diproduksi secara luas. Buah dari tanaman liar yang rata-rata berasal dari hutan di berbagai daerah ini baru diperbanyak untuk kepentingan koleksi di Taman Wisata Mekarsari, Bogor, Jawa Barat.
Reza Tirtawinata, Kepala Divisi Laboratorium dan Riset PT Mekar Unggul Sari yang mengelola taman ini, menjelaskan, Indonesia memang produsen terbesar manggis, tetapi pengekspor terbesar manggis adalah Thailand.
"Manggis rawan di pascapanen karena kalau jatuh saat dipetik, langsung ada urat getah kuning yang pecah dan merusak bagian dalamnya. Jadi 70 persen produksi manggis kita tidak bisa diekspor," kata Reza yang meraih gelar doktornya dalam ilmu permanggisan.
Durian matahari Mekarsari sebagai kebun koleksi tanaman buah tropik dapat menampilkan potret keanekaragaman hayati negeri ini. Di kebun ini, misalnya, terdapat 45 jenis durian dari berbagai daerah di Indonesia.
Salah satunya adalah durian matahari yang kerap disebut sebagai varian durian "nomor satu" karena dagingnya yang tebal, legit, berwarna kuning, dengan biji yang kecil. Ada pula durian tanpa sekat yang dagingnya mengumpul di tengah. Lain lagi, durian gundul atau tanpa duri. Kedua jenis durian ini ditemukan di Lombok, "disediakan" alam tanpa rekayasa genetika.
"Durian-durian unik ini rasanya juga lezat lho," kata Reza. Jenis buah yang dikembangkan dan dikoleksi Mekarsari ini sudah didaftarkan ke Kementerian Pertanian dan mendapat izin pelepasan varietas atau bisa diproduksi bibitnya.
Buah asli lain dari Indonesia yang juga tak kalah banyak jenisnya adalah rambutan. Mekarsari mencatat dan memiliki setidaknya 21 jenis rambutan, seperti rambutan binjai, lebak bulus, rapiah, hingga rambutan aceh.
"Plasma nutfah di Indonesia luar biasa. Kita tidak perlu repot-repot melakukan rekayasa. Tinggal mencari ke dalam hutan, bibitkan, tanam ramai-ramai," kata Reza.
Ia mengingatkan, "pencurian" varietas tanaman yang ada di suatu kawasan -atau negara- sangat sulit dicegah. Satu-satunya yang paling mungkin dilakukan untuk "menyelamatkan" adalah mengembangkan sebanyak mungkin, tidak membiarkannya punah di negeri sendiri.
Tuan di negeri buah Hal itu pula yang telah dilakukan Nanang Koswara (38), petani manggis asal Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Manggis dari kebunnya seluas 6,8 hektar itu sudah diekspor sampai ke China dan Uni Emirat Arab. Tak lama lagi, pasar manggis dari kebun Nanang dan petani lain di desanya akan mencapai Australia.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, pada 2010 lalu, produksi buah lokal Indonesia mencapai 19,1 juta ton, hanya 276.000 ton di antaranya yang diekspor. Ekspor utama buah Indonesia adalah manggis, nanas, mangga, dan rambutan.
Sementara itu, impor buah ke Indonesia pada 2010 tercatat 667.000 ton atau hanya 4 persen dari produksi nasional. Namun, melihat banyak dan luasnya peredaran buah impor, sejumlah kalangan meragukan data itu. "Saya termasuk yang meragukan kebenaran data itu," ujar Ketua Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini.
Masih panjang jalan untuk membuat buah-buahan Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Toh, jalan itu mesti ditempuh.
Sekjen Dewan Hortikultura Nasional Karen Tambayong mengingatkan, terkait pola makan masyarakat Indonesia misalnya, konsumsi buah dan sayur masih jauh di bawah patokan yang disarankan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Konsumsi buah di Indonesia hanya 32,67 kilogram per kapita per tahun, separuh dari ketentuan FAO sebesar 65,75 kg per kapita per tahun. Karena itu, diperlukan diversifikasi makanan yang lebih kaya buah dan sayur.
Di sisi lain, kita juga belum terbiasa dengan gagasan untuk tampil indah sekaligus produktif. Kata Karen, "Lihat di Singapura, pohon sukun untuk pembatas jalan, ubi dan singkong juga bisa untuk tanaman dekorasi."
(Yulia Sapthiani/Nur Hidayati)
Sumber: Kompas Cetak