KOMPAS.com - Isu perombakan kabinet yang kabarnya sudah santer terdengar sejak berbulan-bulan lalu akhirnya diumumkan secara resmi oleh pemerintah. Proses reshuffle yang sedemikian panjang menyebabkan banyak orang mengatakan bahwa hasilnya akan menjadi antiklimaks.
Banyak pembicaraan dan diskusi yang kemudian berkembang mengenai pengambilan keputusan yang tertele-tele, tidak tuntas, bahkan mengambang. Terkadang, kita melihat komentar begitu mudah diucapkan, seolah-olah mengambil keputusan adalah suatu hal yang mudah dan lumrah. Padahal, dalam situasi seperti ini, apalagi yang rumit dan kompleks, belum tentu kita pun bisa melahirkan keputusan yang bermutu.
Kita sebetulnya bisa merefleksikan pada pengalaman kita pribadi: bagaimana kualitas pengambilan keputusan kita selama ini? Apakah kita terbiasa memperhatikan pendapat dan respons orang lain dalam mengambil keputusan yang melibatkan orang banyak? Akan lebih baikkah keputusan kita bila dilakukan tanpa proses diskusi atau konsultasi? Sejauh mana kita perlu membicarakan pertimbangan, pendapat sebelum mengambil keputusan?
Pengambilan keputusan memang tidak mudah. Dalam sebuah rapat kerja yang membahas peluncuran produk yang butuh investasi lumayan besar dan risiko kegagalan yang cukup tinggi, suasana terasa hening. Para peserta rapat melihat ke kiri dan ke kanan, menunggu seseorang untuk membuka suara. Akhirnya suara CEO memecah keheningan, beliau mengajukan beberapa, namun terasa tidak menyerang. Semua peserta rapat pun dapat membaca bahwa sang pemimpin mendukung proyek tersebut. Seketika, banyak orang berkomentar dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan positif. Ruangan menjadi ramai kembali, namun suasana hanya bagaikan air suam-suam kuku, tidak memanas.
Di situasi lain, seorang pimpinan rapat dengan antusias menyerang pembuat proposal dengan pertanyaan-pertanyaan tajam. Ia mempertanyakan, bagaimana cara mencapai angka penjualan yang agresif dengan barisan salesman yang tersedia. Ia pun bertanya bagaimana cara menyerang kompetitor dan apakah kebutuhan pelanggan sudah dipahami dengan baik. Pertanyaannya yang disampaikan dengan nada menyerang, malahan melahirkan dialog-dialog yang mempertajam pandangan seluruh peserta ruangan.
Dari dua situasi di atas, menurut Anda, mana diskusi dan pembicaraan yang lebih efektif? Apakah suasana yang "harmonis" menjamin kita membahas permasalahan dengan lebih tajam? Sebaliknya, pembicaraan dalam situasi yang "menekan", apakah akan menghasilkan keputusan yang melulu buruk? Keberhasilan dialog memang dipengaruhi banyak hal. Namun tidak banyak orang yang menyadari bahwa salah satu kuncinya terletak dari apakah saat kita berbicara satu sama lain, terdapat koneksi, dan engagement yang baik. Dari sebegitu banyak meeting dan dialog yang kita lakukan selama ini, seberapa besar perhatian kita untuk membangun koneksi dan engagement untuk membawa kita mengalami meeting yang benar-benar produktif dan berkualitas? Menyatukan kekuatan hati Kita bisa melihat betapa kualitas dialog bisa berbeda satu sama lain. Sama-sama berdialog, rapat, berurun rembug, berseminar, dan berapat kabinet, tetapi mutu keputusan yang dihasilkan bisa sama sekali berbeda. Di tingkat pemerintah bahkan sampai turun instruksi untuk memangkas meeting-meeting yang tidak berkualitas karena cenderung menghabiskan banyak biaya. Kualitas pertemuan juga bergantung dari bagaimana informasi dikumpulkan, bagaimana informasi tersebut diproses dan bagaimana perasaan yang beredar terhadap satu sama lain dan terhadap keputusannya sendiri. Keakraban yang terbangun antar satu orang dengan orang lainnya lebih bisa membuat semua pemikiran keluar dengan bebas, dibandingkan dengan formalitas, birokrasi, atau aturan rapat yang ketat.
Kita bisa saja menjumpai keputusan palsu alias mengambang. Keputusan seperti ini biasanya terjadi bila fakta dan informasi yang diperoleh tidak kuat, karena banyak individu yang seharusnya menyokong pendapat atau informasi tidak mempunyai kualitas interaksi yang kondusif untuk bicara. Komitmen terhadap keputusan bisa saja jadi hanya bersifat formal dan tidak mempunyai bobot emosi. Padahal, kita semua tahu bahwa untuk mempelajari suatu situasi kita memerlukan kekuatan hati untuk mengalahkan asumsi, keinginan untuk tidak berbagi, dan kekuatan untuk menyatakan ketidaksetujuan.
"Social operating mechanism" Setiap individu, terutama pemimpinnya, perlu menyadari bahwa kualitas keputusan justru ditentukan pada proses alias dialog pengambilan keputusannya. Para ahli yang menelaah kualitas dialog mengatakan bahwa di samping prosedur yang teraga, ada "Social Operating Mechanism" yang melandasi kualitas tindak lanjut dan umpan balik tadi.
Ada kelompok yang katakanlah memang merupakan kelompok penentu kebijakan perusahaan, seperti kelompok manajemen puncak di perusahaan yang tiap minggu bertemu secara hambar, tidak melancarkan dialog-dialog yang seru, dan tidak pernah secara antusias mengakhiri pertemuan. Inilah kelompok, yang bisa dikatakan, melahirkan keputusan keputusan yang palsu. Sebaliknya, kelompok dengan "Social Operating Mechanism" yang berkualitas, akan bisa langsung tercium keterbukaannya. Artinya, setiap individu membuka perspektifnya untuk alternatif jawaban dan pilihan yang bisa saja datang secara tidak terduga dari anggota kelompok lain.
Kita perlu sadar bahwa di antara kita sering ada "silent liars", yaitu orang yang enggan mengemukakan pendapatnya dan menyetujui setiap komitmen tanpa berkomit untuk melakukannya dengan hati. Ada pula golongan "sidetrackers", yaitu mereka yang kerap mengecoh kita untuk mem-benchmark situasi yang sudah tidak perlu di-benchmark. Individu seperti ini sering mengemukakan praktik-praktik yang dikenalnya di perusahaan yang lalu, atau pengalamannya 10 tahun yang lalu.
Seorang pemimpin yang baik, perlu mendorong anggota timnya untuk "to speak the unspeakable", mengisi komitmen-komitmen yang belum disebutkan dan mengangkat konflik yang tersembunyi menjadi dialog yang terbuka. Peserta rapat juga harus mempunyai niat yang sangat kuat untuk melahirkan keputusan yang bermutu. Sebenarnya, bila hal ini terjadi, keputusan akan terhindar dari pekerjaan yang diulang-ulang karena adanya hal-hal yang tidak terpikirkan.
Pada akhir dari suatu pertemuan, kecil atau besar, setiap pihak harus mengetahui mengapa isu ini penting, apa yang harus dilakukannya sebagai tindak lanjut dan kapan kita harus menggarapnya. Rapat-rapat evaluasi, analisa dan review pun tetap membutuhkan tindak lanjut. Dialog atau percakapan adalah dasar dari produktivitas dan pertumbuhan: jadi mustahil dianggap enteng. Kita sama sama perlu menjaga nada dan memastikan "isi"-nya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
* Ingin mengetahui problema ibu bekerja, tips gaya dan menjaga kebugaran, baca Lipsus Working Mom.
Sumber: Kompas Cetak