Terapi untuk anak autisme (doc Corbis)
VIVAnews - Sampai saat ini, pemicu autisme belum diketahui secara jelas. Namun, seorang psikolog dari University of Cambridge, Inggris, mengungkap kalau salah satu penyebab autisme adalah karena hasil keturunan orangtua yang sangat andal dalam bidang eksakta.
Sebelumnya, beberapa ilmuwan menyimpulkan, bahwa sebagian besar tokoh teknologi dunia memiliki gangguan spektrum autisme (ASD). Hal ini membuat mereka kesulitan memahami bahasa, bersosialisasi dan sering bermasalah dalam hal perilaku, yang merupakan ciri khas dari gangguan autisme.
Dari kesimpulan tersebut, lalu berkembang teori yang menyebutkan kalau orang yang berprofesi di bidang ilmu pengetahuan dan teknik, memang memiliki karakteristik autisme. Termasuk, berisiko tinggi memiliki anak yang juga mengalami gangguan autisme.
Hal ini lalu diteliti oleh Simon Baron-Cohen, psikolog dari University of Cambridge, Inggris. Menurut teori yang ia kembangkan selama 15 tahun terakhir, orangtua dari anak-anak autis dan anak itu sendiri, memiliki bakat untuk memahami dan menganalisis prediksi, berdasarkan aturan sistem seperti mesin, matematika atau program komputer.
"Gen yang membuat orangtua berpikir teknis inilah, yang menurut saya menyebabkan autisme, ketika diturunkan pada anak-anaknya. Terutama, bila dikombinasikan dengan dosis gen serupa," kata Cohen, seperti dikutip dari nature.com.
Selama ini, memang ada stereotipe bahwa ilmuwan dalam bidang teknik cenderung 'kutu buku' dan tak mudah bergaul. Baron-Cohen juga berspekulasi bahwa tokoh-tokoh seperti Albert Einstein dan Isaac Newton mengalami sindroma Asperger, salah satu gejala autisme.
Faktor Genetik
Dari sekian banyak teori yang berkembang soal pemicu autis, memang ada kesimpulan yang selalu sama. Bahwa, faktor genetik berperan besar dalam risiko gangguan autisme. "Jika orangtua menunjukkan gejala autisme, kemungkinan besar memiliki anak yang juga mengalami autisme," kata Cohen.
Kesimpulan Cohen ini, juga diamini oleh Bryna Siegel, seorang psikolog klinis yang bekerja di klinik autis, University of California, San Francisco, Amerika Serikat. "Hal ini memang sesuai dengan yang saya alami dan pengalaman setidaknya beberapa dokter," katanya.
Namun, beberapa kritikan juga muncul menanggapi teori pemicu autisme yang dikembangkan Cohen. Menurut John Constantino, psikiater dari Washington University, data yang digunakan Cohen, tak cukup untuk mendukung teori-teorinya.
"Memang ada hipotesis yang bagus untuk terus dikembangkan, namun hal ini harus dibuktikan melalui serangkaian tes," kata Constantino.
• VIVAnews
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.
' ); $.ajax({ type: "POST", url: "/comment/load/", data: "valIndex=" + a + "&articleId=" + b + "&defaultValue=" + c, success: function(msg){ $("#loadkomen").html(msg); //$(".balasan").hide(); } }) }