Selasa, 06 Desember 2011 | 04:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta:- Hasil uji darah dari laboratorium membuat dahi Sofyan, 29 tahun, mengernyit. Nilai kolesterolnya selangit. "Aku tanya ke dokter kenapa kurus, kok, kolesterolnya tinggi," kata Sofyan kepada Tempo.
Saat pertama kali tahu kadar kolesterolnya tinggi, pria bertinggi 160 sentimeter ini memiliki berat badan 50 kilogram. Menurut dokter, berat badannya masih terbilang ideal, "Tapi kolesterol bukan soal gemuk atau kurus, tapi soal pola makan dan olahraga," kata Sofyan menirukan penjelasan sang dokter.
Sofyan memang penyuka kuliner makanan laut. Sebulan sekali pasti ia makan menu kepiting, sedangkan masakan udang disantap dua kali dalam sepekan.
Dokter menyuruhnya mengurangi makanan berlemak yang menjadi favoritnya itu. Sofyan pun mengganti sarapannya dengan oatmeal. "Hasilnya, kadar kolesterol jahat mulai turun," ujarnya.
Lain lagi cerita Nisa, 32 tahun, yang dalam tiga bulan terakhir berat badannya naik 5 kilogram. Nisa penikmat masakan cepat saji. Saban bersantap di luar rumah, burger, pizza, dan fried chicken bergantian menjadi santapan.
Beberapa pekan terakhir, rasa nyeri menyergap di sekitar leher dan pundak. Setelah dicek, ternyata kadar kolesterolnya 211, melampaui ambang normal 200. Sejak itu Nisa beralih lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah-buahan.
Menurut dokter spesialis gizi klinis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Fiastuti Witjaksono, berganti menu makanan memang jalan terbaik demi mengatasi tingginya kadar kolesterol dalam darah. "Yang terbaik memang mengkonsumsi makanan yang serat larut," ujarnya.
Makanan berserat akan mengikat kolesterol sehingga terbawa keluar dari tubuh. Namun, ketimbang oatmeal yang merupakan makanan berserat tak larut, Fiastuti lebih menyarankan sayur dan buah-buahan yang termasuk berserat larut.
Sofyan dan Nisa hanyalah dua dari sebagian masyarakat kota besar di Jakarta yang gagal mengontrol kadar kolesterol. Survei Central Pan-Asian on the Undertreatment of Hypercholesterolemia pada pertengahan 2009 menyebutkan 70 persen penduduk urban Indonesia gagal menurunkan kadar kolesterol jahat dalam tubuh.
Fiastuti sepakat dengan hasil survei itu. Pasalnya, riset Himpunan Studi Obesitas Indonesia pada 2003-2004 menemukan sekitar 40 persen penduduk kota besar di Indonesia tergolong mengalami obesitas. Responden studi itu adalah orang berusia 20-50 tahun yang, menurut pengamatan Fiastuti, justru didominasi mereka yang berusia muda. "Ini angka yang cukup tinggi, apalagi trennya terus meningkat," ujarnya.
Ia menilai tingginya penderita obesitas itu tak lepas dari pola makan kaum urban. Di kota-kota besar, kata dia, makanan yang tersedia justru lebih banyak yang mengandung lemak jenuh, yang bakal membuat kadar kolesterol meroket.
Ada risiko besar yang menanti mereka, yang tinggi kolesterol jahatnya. "Penyakit degeneratif, seperti serangan jantung dan stroke, mengancam mereka," kata Fiastuti.
Dia menyarankan agar kadar kolesterol dicek minimal sekali setahun. Jika hasilnya menunjukkan angka yang tinggi, pola makan harus segera diganti, ditambah olahraga.
Setelah perubahan menu selama enam pekan, kadar kolesterol kembali dites. "Kalau masih tinggi, itu artinya harus dibantu obat antikolesterol."
Bagi mereka yang berpostur kurus pun, Fiastuti mewanti-wanti agar menjaga makanan. Menurut dia, 30 persen kolesterol dalam tubuh dipengaruhi oleh makanan, sedangkan sisanya bergantung pada metabolisme tubuh.
OKTAMANDJAYA WIGUNA