Gerakan Seribu Rupiah Pedul Shafa dan Azka penderita GBS (Antara/ M Agung Rajasa)
VIVAnews - Bagi kebanyakan orang, Guillain Barre Syndrome (GBS) memang masih asing di telinga. GBS adalah sejenis penyakit yang menyerang daya tahan tubuh (auto immune) penderitanya.
Selanjutnya, GBS akan menyerang sel pada syaraf tepi sehingga beberapa organ tertentu yang dipengaruhi oleh syaraf tersebut tidak menerima/tidak merespon informasi dari otak.
Menurut Drg Silvia Wahyuni yang peduli terhadap penyakit ini, gejala GBS terbilang sangat umum jadi seringkali dianggap penyakit biasa."Gejalanya biasa, terlihat sangat wajar. Tapi biasanya kebal atau kesemutan yang dialami tak biasa. Kesemutan umumnya terjadi selama 1 -2 menit lalu hilang, tapi ini tidak dan bisa menjalar sampai ke tubuh bagian atas. Membuat orang sesak nafas, punggung nyeri dan sakit sekali. Dalam hitungan 1-2 hari bisa menyebabkan koma," jelasnya.
Drg Silvia mengatakan, sindroma ini menyerang paru-paru dan syaraf mata sampai menyebabkan kebutaan. "GBS susah terdeteksi, karena gejalanya umum," ungkapnya di Jakarta.
Disebutkan pula, belum ada penyebab pasti syndrome ini. Belum ada literatur atau referensi yang menyebutkan mengenai gejala penyakit ini, oleh karena itu masih disebut syndrome. Sampai saat ini pun belum ada penelitian ilmiah yang menemukan penyebab utama munculnya GBS.
Penyakit ini dapat menyerang siapa saja tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Pada penderita syndrome, umumnya sudah lama ada namun baru dideteksi beberapa tahun belakangan. Di Indonesia, terdapat cukup banyak penderita GBS, diantaranya Shafa (5) dan Azka (4). Penderita lainnya adalah seorang remaja bernama Cadas dan Tissa (17).
"Kebanyakan yang terkena itu orang dewasa usia produktif, tapi belakangan ini yang kena anak kecil. Balita seperti Shafa ini baru 5 tahun, dia dirawat di ICU menggunakan ventilator," ujar Silvia yang juga pernah menjadi Ketua Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka ini.
Untuk perawatan dan pengobatan GBS ini terbilang cukup mahal. Pasien dengan GBS membutuhkan obat yang mengandung immune globuline bernilai puluhan juta rupiah. Maka tak heran penderita GBS memerlukan biaya pengobatan yang sangat mahal.
"Pemberian obat itu juga berdasarkan berat badan, satu hari sekitar lima ampul. Harga satuannya Rp4 jutaan, jadi satu hari bisa 20juta, belum lagi ruang ICU pakaiventilator. Tingkat kesembuhannya juga tidak bisa diprediksikan, bisa cepat bisa lama sekali," ujarnya.
Dr Silvia megingatkan agar orangtua cepat mendeteksi bila merasa ada gejala ini pada buah hati. "Kami inginnya jangan sampai ada yang terlambat terutama pada anak. Banyak rumah sakit belum paham tentang syndrome, ada juga yang bilang sakit polio atau gejala sakit biasa, sehingga perlu sosialisasi lebih luas oleh berbagai kalangan," ungkapnya.
GBS pertama kali ditemukan pada 1916 di Perancis. Gejala awalnya dimulai dengan sensasi kesemutan di ujung jari kaki atau tangan atau mati rasa yang membuat kaki kaku, lengan lemas hingga sulit menggenggam atau memutar sesuatu. Gejala akan hilang dalam beberapa minggu sehingga seringkali gejala ini tak diacuhkan. Gejala tahap selanjutnya umumnya makin parah seperti tak dapat berjalan, lengan lemah dan syaraf refleks hilang fungsi.
Bila mengalami gejala-gejala GBS, pasien dianjurkan untuk melakukan tes darah lengkap, Lumbar Puncture, dan Electromvogram (EMG). Tanda-tanda pelemahan syaraf akan terjadi pada 4-6 minggu. Pada kasus yang langka, beberapa pasien juga akan mengalami lumpuh total.
Sesuai hasil tes dan tingkat kelumpuhan, dokter akan menentukan apakah pasien dapat menerima pengobatan atau diharuskan menjalani perawatan dan terapi untuk menggerakkan tubuh. (umi)
• VIVAnews
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.
Kirim Komentar
Anda harus Login untuk mengirimkan komentar