KOMPAS.com - Menjadi seorang single mom boleh jadi merupakan opsi terakhir bagi perempuan. Namun, perempuan juga berhak membuat keputusan untuk hidupnya termasuk menentukan bagaimana arah pernikahannya. Termasuk untuk memilih bercerai dan mengasuh anak seorang diri.
"Terkadang, perceraian adalah jalan terbaik agar tak mengorbankan jiwa anak dengan percekcokan yang terjadi pada orangtuanya," ungkap Vivanti Ayu Damarsasi,single mom yang juga adalah pengusaha restoran Kaivalya kepada Kompas Female.
Perempuan yang akrab disapa Vivien ini mengambil keputusan untuk kembali ke rumah orangtuanya saat ia mengandung tujuh bulan. Meski beban psikologis menderanya, lantaran pernikahan yang tak lagi bisa dipertahankan, ia tetap bertekad merawat kandungannya. Vivien paham betul konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Ia pun melewati pengalaman pahit melahirkan tanpa didampingi suami, dengan menandatangani sendiri surat prosedur operasi caesar.
Perebutan hak asuh Melahirkan putra pertamanya, Satria Kenvaleriano Syahputra lahir, merupakan awal perjuangan Vivien. Setelah putranya berumur tiga bulan, Vivien menerima surat keputusan talak satu dari pengadilan.
"Persidangan perceraian berlangsung alot karena mantan suami saya tidak mau bercerai dan akhirnya terjadilah perebutan hak asuh," ungkapnya.
Memutuskan berpisah saat hamil, melahirkan sendirian, dan terpisah dari anak kandungnya sendiri karena konflik perebutan hak asuh anak, menorehkan pengalaman pahit berkelanjutan baginya. Rasa takut yang cenderung paranoid kemudian muncul dari dalam diri Vivien, membayangkan hidup terpisah dari buah hatinya.
"Seharusnya, Ken yang masih berusia tiga bulan, dan masih menyusui, ikut dengan saya, ibunya. Namun, saya pasrah dan ikhas dengan jalan Allah. Saya ikhlas kalau memang Ken harus ikut ayahnya," bebernya.
Meski berserah, Vivien gigih memperjuangkan haknya. Ia pun berhasil mendapatkan hak asuh atas Ken, meski persoalan hak asuh belum mencapai titik ujungnya.
Anak sebagai motivasi Mandiri secara finansial menjadi tantangan berikutnya bagi Vivien. Dengan beban psikis yang dialami pascaperceraian, ia tetap harus berpikir dan bertindak ekstra menghidupi keluarga.
"Meski ketika masih berkeluarga saya tidak bergantung pada suami secara ekonomi, kondisinya menjadi berbeda ketika bekerja dengan memiliki anak dan harus memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari sendirian," tukasnya.
Memenuhi kebutuhan anak secara maksimal menjadi prioritas utama Vivien dalam bekerja dan berpenghasilan. Tujuannya, memberikan yang terbaik bagi Ken, katanya. Pekerjaan sebagai sebagai public relations di salah satu perusahaan layanan telepon seluler di Jakarta menjadi solusi keuangan. Bantuan dan dukungan dari keluarga memudahkan jalan Vivien dalam memenuhi kebutuhan si kecil. Ia menitipkan Ken kepada orangtuanya selagi ia bekerja.
Memahami dirinya adalah orangtua tunggal yang harus menafkahi anak dan berbagai kebutuhan sendirian, Vivien memutar otak untuk menambah penghasilan.
"Saya sekuat tenaga akan memberikan apapun yang Ken minta tapi bukan untuk memanjakannya namun lebih kepada memfasilitasi saja," bebernya.
Bertambahnya usia si kecil, bertambah pula kebutuhannya. Namun kenyataan ini tak membuat Vivien patah semangat. Justru ia terpacu untuk bangkit dan berdaya lebih mewujudkan impiannya. Salah satu mimpinya adalah berwirausaha. Ken, sebagai penggeraknya membuat Vivien berani membuat satu lagi pilihan dalam hidupnya. Ia mendirikan bisnis restoran setahun silam. Langkah yang diambilnya ini tak lain merupakan cara untuk bisa memberikan yang terbaik bagi anaknya, terutama bekal pendidikan untuk masa depan Ken.
"Saya merasa belum menjadi ibu yang baik untuk Ken, karena saya masih sering sibuk di luar. Setelah bekerja saya berjaga di restoran. Jadi saya hanya punya waktu di pagi hari atau malam hari dan akhir pekan untuknya," sesalnya.
Meski rasa bersalah kerap muncul, Vivien memahami bagaimana semestinya ia menjalankan peran ibu. Waktu yang sempit selalu menjadi momen yang tak pernah dilewatkannya untuk membangun kedekatan dengan anaknya. Selalu menyempatkan waktu mengantar Ken berlatih sepak bola, berenang, ataupun sekedar mengantar tidur dengan membacakan dongeng.
"Alhamdullilah sampai sekarang Ken bisa mengerti kesibukan ibunya. Ia pun sering berinisiatif membantu saya di restoran," katanya penuh bangga.
Ajarkan anak menjadi pemaaf Meski sempat menghadapi tragedi kehidupan yang pahit untuk bisa hidup bersama, namun tak sekalipun ia mengajarkan sang anak untuk mendendam pada sang ayah. "Bagaimanapun juga beliau tetap ayahnya," tambahnya.
Ia pun tak menutupi perceraiannya dengan mantan suaminya dan bahkan ia pun memperkenalkan Ken pada sang ayah. Butuh jiwa besar dan rasa keikhlasan yang tinggi untuk bisa melakukannya, kata Vivien, karena nyatanya tak semua orang bisa memaafkan dan melakukan hal tersebut.
Vivien mampu mengalahkan egonya demi sang anak yang dicintainya mengenal sosok ayah yang kini terpisah. Ia pun menjelaskan alasan perceraian dengan bahasa yang bisa dipahami anak-anak. "Dengan penjelasan tersebut, Ken jadi tahu bahwa ayah dan bundanya tidak bisa bersama dan ia pun juga tidak malu kepada temannya ketika ditanya tentang ayahnya," tambahnya.
Vivien juga mengizinkan Ken dan sang ayah bertemu ataupun berhubungan melalui telepon setiap saat. "Tetapi Ken pernah cerita kalau dia lebih nyaman bersama saya," ungkap perempuan yang meyakini dengan menanamkan ilmu agama kepada anak sejak dini dapat menjadi bekal kelak.
"Saya hanya berusaha sekuat tenaga untuk bisa jadi ibu sekaligus ayah yang baik, dan bisa jadi tempat cerita tentang apa saja oleh anak saja. Saya bertekad untuk sekuat tenaga memfasilitasi keinginan positifnya dengan lebih bekerja keras, untuknya," tandasnya.