KOMPAS.com - Bicara seks selalu saja menimbulkan kontroversi. Termasuk bagi kebanyakan orang Indonesia yang seringkali mengaitkan seks dengan sesuatu yang tabu, vulgar, atau bahkan cabul. Padahal, bicara seks yang edukatif penting bagi siapa saja, termasuk pasangan menikah yang masih terjebak mitos namun juga mulai tergiur mencari atraksi seks yang menarik untuk meningkatkan kualitas hubungan berpasangan, dengan aktivitas seksual.
Psikolog seksual, Zoya Dianaesthika Amirin (36), mengatakan masalah yang kerap terjadi pada pasangan menikah (mereka yang berkonsultasi kepadanya), masih seputar mitos seperti keperawanan. Namun di sisi lain, semakin banyak juga pasangan menikah yang mulai tertarik dengan posisi seksual atraktif bahkan cenderung berisiko.
"Pasangan, terutama di perkotaan, mendapatkan banyak informasi tentang seks tapi belum terdidik. Informasi banyak namun belum tentu semuanya edukatif," jelas Zoya kepada Kompas Female di sela talkshow diadakan Bundagaul.com di Jakarta belum lama ini.
Menurut Zoya, selain edukasi seks yang masih minim, banyak orang Indonesia yang masih menganggap tabu, vulgar, dan cabul, saat berdiskusi soal seks. Seks, dipahami sebagai sesuatu yang tabu atau malah dipahami sebagai olok-olokan yang boleh dipercakapkan secara vulgar, sensasional, cabul. Padahal seks dapat didiskusikan selayaknya, tidak tabu, tidak vulgar, sama sekali tidak cabul.
Sikap tak terbuka saat bicara seks inilah, salah satunya, yang menyebabkan banyak pasangan menikah terjebak pada mitos dan aktivitas seksual berisiko. Sepanjang 2011, perempuan berdarah Jawa-Manado-Belanda ini mengamati dua hal yang kontradiktif terkait kehidupan seksual pasangan menikah. Mitos seks Masalah klasik tentang seksualitas pada pasangan menikah masih berlangsung hingga 2011. "Masalah klasik setiap tahun masih juga terjadi di 2011, soal darah perawan. Masalahnya masih seputar istri yang dianggap tidak perawan karena tidak adanya darah perawan, apakah mau diceraikan, atau perempuan yang akan menikah merasa khawatir dengan keperawanannya. Apakah korban pemerkosaan atau mereka yang mengalami kekerasan seksual, yang disebut para penyitas ini, perlu bilang ke calon suami mengenai keperawanannya? Pertanyaan dan masalah klasik inilah yang selalu muncul setiap tahunnya," jelas Zoya.
Masalah keperawanan (tak munculnya darah saat suami-istri berhubungan seks pertama kalinya), yang sebenarnya dipengaruhi banyak faktor seperti kekerasan seksual atau robeknya selaput dara bukan karena hubungan seks, menjadi masalah klasik seksualitas yang kerap dialami perempuan. Sementara bagi laki-laki, masalah seksual lebih terkait dengan performa seksual. Masih banyak laki-laki yang percaya kekuatan pil biru untuk meningkatkan performa seks. Pil biru dianggap sebagai solusi, padahal masalah utamanya adalah hilangnya hasrat seks yang disebabkan banyak faktor. "Kalau tidak punya hasrat bagaimana bisa terangsang atau memiliki perfoma seksual yang baik, inilah masalah klasik yang terjadi pada laki-laki," jelas Zoya.
Problema klasik seputar seks yang dialami perempuan dan laki-laki, lalu kemudian memengaruhi kualitas hubungan berpasangan, berasal dari pemahaman yang belum sempurna mengenai seks. Lagi-lagi, edukasi seks ternyata belum menyentuh secara menyeluruh, termasuk kepada pasangan menikah.
Boleh jadi, pasangan menikah pun masih merasa canggung jika harus mendiskusikan seks secara terbuka. Padahal, dengan membicarakan seks secara terbuka, banyak dampaknya terhadap hubungan pasangan menikah. "Performa seksual juga ada kaitannya dengan membina cinta bukan dengan mengandalkan pil biru. Bahkan masyarakat urban pun tak terbuka bicara mengenai hal ini," tutur Zoya.
Rasa canggung bicara seks lebih terbuka sebagai bentuk edukasi, masih lebih besar dari kesadaran akan pentingnya diskusi seks. Termasuk untuk kalangan anak dan remaja, yang sebenarnya perlu mendapatkan pemahaman yang tepat agar mereka paham bagaimana mengatakan tidak dan menolak untuk melakukan seks pranikah misalnya.
Atraksi seks Bicara seks di Indonesia seperti berada di wilayah abu-abu. Satu sisi, masih banyak orang terjebak mitos dan masalah klasik, di sisi lain, rupanya semakin banyak orang, terutama masyarakat urban, yang mulai merespons posisi seksual atraktif.
"Pertanyaan mengenai seks anal banyak bermunculan pada 2011, hal ini tak terjadi pada 2010 lalu. Pada 2011, banyak orang menanyakan posisi seksual yang atraktif," jelas Zoya.
Anal seks tak sehat dan berisiko tinggi, tegas Zoya. Namun herannya, justru banyak yang ingin tahu mengenai aktivitas seksual ini. Menurut Zoya, boleh jadi pengalaman menonton video porno menjadi pemicunya. Di samping, adanya informasi yang keliru mengenai seks anal yang dianggap memberikan sensasi lebih spektakuler.
Zoya menyayangkan, karena menurutnya, masih banyak eksplorasi seksual yang dapat dilakukan pasangan untuk meningkatkan kualitas hubungan seks. "Saya sendiri heran, mengapa langsung terpikir melakukan seks anal, padahal belum mengeskplorasi berbagai macam posisi," lanjutnya.
Banyak variasi posisi seks vaginal yang aman, tidak berisiko, dan memberikan kenikmatan seksual yang lebih tinggi, bukan dengan seks anal, jelas perempuan kelahiran Jakarta, 7 September 1975 ini. Prinsipnya, lakukan aktivitas seksual apa saja berdua asal nyaman, tidak saling menyakiti tubuh pasangan, tidak berisiko, tidak ada kekerasan di dalamnya.
"Tak apa melakukan aktivitas seksual yang sedikit 'aneh' atau tak biasa asalkan tidak berisiko. Berhubungan seks di taman atau posisi helikopter misalnya. Jika ada permintaan pasangan untuk melakukan hubungan seks dengan cara 'aneh' jangan langsung menolaknya, jangan membatasi diri. Cara seperti ini lebih aman daripada seks anal yang katanya spektrakuler. Karena seks anal, meski menggunakan kondom sekalipun, tidak menjamin aman," jelas perempuan yang terpilih sebagai Most Inspiring Women 2009 versi Yves Saint Laurent itu.
Untuk meningkatkan kualitas hubungan seksual pasangan menikah, penggunaan sex toys juga dapat menjadi pilihan. Rupanya, aktivitas seksual dengan sex toys di Indonesia lebih kreatif dan bervariasi, dibandingkan pasangan di luar negeri misalnya. Perbandingan ini didapatkan Zoya saat mengikuti human sexuality short course (hak gay dan lesbian), di San Francisco State University Desember 2010 lalu.
"Keterbukaan mengenai seks di luar negeri relatif lebih tinggi. Namun masalah yang dialami cenderung sama, seperti banyak perempuan yang sulit mencapai orgasme. Yang mungkin berbeda adalah mitos-mitos seks, meski soal performa seksual tetap menjadi masalah. Namun, keanehan aktivitas seksual di Indonesia lebih mengejutkan. Penggunaan sex toys orang Indonesia lebih bervariasi dan cukup mengejutkan," jelas Zoya.
Minimnya edukasi seks, menjadi perhatian Zoya setiap tahunnya. Perempuan yang juga berprofesi sebagai pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini berencana membuat terobosan tahun depan untuk mengedukasi lebih banyak orang mengenai seksualitas.
"Saya berencana mengikuti sex conference di luar negeri, untuk kemudian meningkatkan edukasi seks di Indonesia, termasuk edukasi seks untuk remaja, anak jalanan, termasuk di penjara," jelas Zoya yang terbiasa menghadapi kontroversi dari setiap langkahnya mengedukasi masyarakat mengenai seksualitas.