Senin, 26 Desember 2011 | 16:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Asnah, sebut saja begitu, merasa hidup sehat dan baik-baik saja selama ini. Ia juga tidak suka "jajan" selama pernikahannya. Tapi, dua bulan lalu, petir serasa menyambar kepalanya: Asnah terdeteksi kanker serviks atau kanker mulut rahim.
"Saya hampir saja mengira, kalau bukan saya, jangan-jangan suami saya yang suka jajan," ujar Asnah. Perempuan berusia 45 tahun ini mengaku, kehidupan pernikahannya dengan sang suami selama 26 tahun selalu berjalan harmonis.
Asnah terdeteksi kanker serviks setelah menjalani pemeriksaan sederhana di puskesmas di dekat tempatnya tinggal. Metodenya sederhana, hanya menggunakan asam asetat. Metode ini dikenal dengan sebutan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). "Seharusnya saya dari dulu melakukan tes ini, tidak perlu malu," kata Asnah, dalam peluncuran "Bulan Cegah Kanker Serviks" di Puskesmas Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis lalu.
Perasaan malu adalah masalah terbesar perempuan Indonesia untuk memeriksakan diri ke dokter atau puskesmas terdekat guna menjalani deteksi dini kanker servis. Kanker jenis ini patut diwaspadai. Sebab, diperkirakan ada 15 ribu kasus baru setiap tahun, 8.000 di antaranya meninggal dunia. Data dari Female Cancer Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI) menunjukkan hampir setiap jam perempuan Indonesia meninggal akibat kanker serviks. Padahal, untuk mendeteksi dini penyakit ini, biayanya cukup murah, hanya Rp 5.000.
"Bukan karena tidak punya uang. Ibu-ibu enggan memeriksakan diri karena malu" ujar Ekarini Aryasatiani, dokter spesialis obstetri dan ginekologi Rumah Sakit Tarakan, Jakarta, di tempat yang sama.
Malu yang dimaksud Ekarini bermacam-macam. Ada yang malu karena harus membuka baju. Ada pula yang malu karena takut ketahuan pernah "jajan". Yang terakhir, malu yang sering terjadi pada pasien perempuan muda, yaitu mereka malu ketahuan pernah berhubungan seks sebelum menikah. "Padahal, metode yang paling efektif saat ini adalah see and treat, lihat dan langsung diobati atau dirujuk ke rumah sakit apabila terdeteksi kanker serviks," ujarnya.
Demi menyiasati permasalahan "malu" ini, Ekarini memiliki metode unik yang dinamakan metode ABCD atau "Ayo Buka Celana Dalammu". Di ruang kerjanya, setelah pasien buka celana, dokter langsung membuka organ yang perlu diinspeksi, lalu mengolesi dengan asam asetat. Dan hasilnya akan terlihat dalam beberapa menit.
Menurut Ekarini, metode IVA bukanlah metode baru dalam mendeteksi kanker serviks. Iva sudah ada sejak 2003. Sebelum metode IVA disosialisasikan, ada metode lain yang disebut dengan Pap Smear.
Namun, menurut Laila Nuranna, dokter spesialis obstetri ginekologi, yang juga Ketua Pusat Pengkajian Kanker Perempuan FKUI, metode Pap Smear lebih ribet dan memakan waktu cukup lama untuk mengetahui hasilnya. "Harus ada alat yang harus dimasukkan," ujarnya, "Tidak hanya itu, metode Pap Smear membutuhkan biaya yang lebih banyak."
Kanker serviks adalah jenis kanker yang disebabkan oleh virus bernama human papilloma (HPV). Virus ini membuat kerusakan organ mulut rahim pada perempuan. Kerusakan ini kemudian menimbulkan luka dan berkembang menjadi kanker. Virus ini mudah sekali masuk ke mulut rahim lantaran letak mulut rahim yang hanya berjarak 20 sentimeter dari vagina.
Umumnya kanker serviks diderita oleh perempuan berusia produktif (25-50 tahun), dan sangat berisiko pada perempuan yang melakukan hubungan seks di usia muda, sering berganti pasangan, mengalami keputihan, dan merokok. Gejala kanker serviks sulit diketahui, sehingga wanita kerap tidak menyadari kehadirannya.
Agar deteksi dini bisa dilakukan, Laila bersama Yayasan Kanker Indonesia dan Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia menargetkan, pada 2017, tak ada lagi perempuan Indonesia yang kesulitan memeriksakan diri melalui IVA. CHETA NILAWATY