Ilustrasi wanita penderita HIV/AIDS (REUTERS/Kham)
VIVAnews - Sudah 10 tahun Vivi mengidap HIV/AIDS. Bukan karena jarum suntik narkoba, atau seks bebas. Bahkan, boleh dibilang ia adalah istri yang setia. Namun, kesetiaannya tak berbuah manis. Ia justru mendapatkan hadiah berupa virus mematikan HIV/AIDS dari sang suami yang pengguna narkoba jarum suntik.
"Awalnya sama sekali buta, suami pun tidak mau jujur. Setelah punya anak, anak saya diare, mulutnya penuh sariawan dan enggak sembuh-sembuh, saya curiga. Dan ternyata benar, dokter memvonis HIV/AIDS pada anak saya yang berarti saya juga sudah ditularkan virus itu," tuturnya pilu saat menghadiri seminar 'Getting to Zero: Zero New infections, Zero Discrimination, and Zero AIDS Related Death'. Vivi adalah satu di antara ribuan ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS akibat ditularkan oleh suaminya melalui hubungan seks. Bahkan, jumlah ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS terus meningkat dan menjadi sebuah kasus baru di tahun 2011 karena angkanya yang sangat mengejutkan.
Tercatat pada 2008 terjadi 26% angka penularan, jumlah ini meningkat pada 2009 menjadi 27%, kemudian pada 2010 meningkat lagi menjadi 31,49%, dan pada 2011 jumlahnya menjadi 39,23% ibu yang terinfeksi. Peningkatan ini bahkan menjadi kasus baru penularan virus HIV/AIDS 2011 yang biasanya didominasi oleh penggunaan jarum suntik dan seks bebas.
Menurut Baby Jim Aditya, psikolog dan seksolog serta seorang aktivis AIDS, penularan terhadap ibu Rumah Tangga kerap terjadi pada mereka yang memiliki suami yang berisiko. Tercatat, sekitar 1,6 juta wanita menikahi pria berisiko.
"High risk men atau laki-laki pelacur itu adalah mereka yang suka melakukan hubungan seks dengan banyak wanita tanpa kondom dan mereka yang suka belanja jasa PSK."
Biasanya pria berisiko tinggi sangat terkait dengan gaya hidup mereka yang berpindah-pindah dan memiliki uang. Bahkan, angka tertinggi pengidap HIV/AIDS jatuh pada wiraswasta yang bebas membelanjakan uang mereka.
"Semakin banyak pria yang membeli jasa pekerja seks, semakin banyak ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS," ujarnya.
Tak hanya itu, peningkatan angka penularan pada ibu rumah tangga juga sangat terkait dengan kebudayaan partriarki yang sangat kental di masyarakat. Orang dulu selalu bilang kalau istri menolak ajakan seks suami akan berdosa. Belum lagi kalau suami memaksa dengan kekerasan. Hal-hal seperti itulah yang membuat istri takut untuk menolak meski mereka tahu bahwa suami mereka tidak sehat secara seksual. Dan, mayoritas pria menolak untuk menggunakan kondom.
"Ini menjadikan para istri sebagai tempat sampah penyakit suami," tegasnya.
Di daerah pelosok atau pesisir, budaya partriarki bahkan menjadi momok. Karena kemiskinan, bapak pun akan memaksa putrinya untuk menggadaikan keperawanannya. "Di kampung nelayan, suami bahkan mendorong istrinya untuk melacur karena ada musim di mana mereka tidak bisa melaut."
Padahal, ia melanjutkan, mereka (pria) tidak akan terbebani. Yang terbebani adalah wanita dari segi ekonomi, psikologi, dan kesehatan. "Sopir pantura minimal punya dua istri di setiap daerah. Artinya, dia bisa menularkan penyakit pada setiap istrinya," paparnya.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menekan peningkatan angka penularan HIV/AIDS terhadap ibu rumah tangga? Menurutnya, masalah ini sangat erat hubungannya dengan relasi kuasa pria.
Karenanya, penyediaan lapangan pekerjaan dengan gaji yang cukup, peningkatan pendidikan sembari menanamkan nilai-nilai baru, serta konseling dalam keluarga terutama ayah sebagai pengambil keputusan di rumah dapat efektif meski dilakukan dalam jangka waktu yang panjang."Dia juga harus mendapatkan ganti yang setimpal agar tidak lagi melacurkan anak perempuannya."
Tak hanya itu, pendekatan lokal juga harus dilakukan kepada orang tua. "Orang tua harus memandang anak perempuan sebagai mahluk yang harus dihormati, bukan sebagai objek untuk dijual."
Agar tak tertular HIV/AIDS dari pasangan, ia pun menyarankan untuk melakukan tes pranikah dan tes secara berkala. "Tes ini juga harus dilakukan dengan konseling mendalam bagi pasangan-pasangan yang berisiko untuk menanamkan perilaku seksual yang sehat."
Selain itu, pendidikan dini terhadap anak juga sangat perlu dilakukan agar anak tidak terjerembab dalam kehidupan liar seks bebas. "Banyak keluarga megajarkan anak perempuan untuk menjaga keperawanannya, tapi sedikit orang tua yang mengajarkan anak laki-laki untuk menjaga keperawanan anak orang lain." tegasnya. (umi)
• VIVAnews
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.
Kirim Komentar
Anda harus Login untuk mengirimkan komentar