KOMPAS.com - Teman saya tidak suka membaca buku teks. Sebelum media sosial berkembang, ia banyak berlangganan majalah. Dari majalah, hal-hal praktis saja yang dimanfaatkannya, seperti resep masakan dan beberapa tips yang sering tertera dalam headlines. Namun sekarang, tiba-tiba ia mendapat begitu banyak pencerahan dari media sosial. Twitter yang dikemas dalam tulisan 140 karakter, seolah-olah membuat dia tahu banyak, bahkan merasa tahu semua.
Tanpa kita sadari proses pemahaman sudah mengalami perubahan. "Instant knowledge" berkembang pesat di era multimedia dan internet ini. Dari internet, bukan saja kita bisa belajar bahasa, merajut produk, namun pemecahan masalah yang kompleks maupun strategis sekali pun bisa didapat. Pertanyaannya, cukupkah pengetahuan berkembang dengan medium seperti ini? Apakah kita memang tidak memerlukan fokus, pendalaman latarbelakang suatu gejala, untuk memahami sesuatu dengan benar dan tepat?
Pemahaman adalah kapabilitas individu untuk memperoleh pengertian dari sesuatu yang sedang dipelajari. Dengan pengetahuan yang sepotong-sepotong atau pemahaman yang setengah-setengah, kita kerap melihat orang bisa bertindak seolah dirinya sangat pakar dan kemudian memberi komentar ini-itu dengan sangat fasih. Pemahaman yang mengambang sebetulnya bisa berbahaya, terutama bila isunya kritikal, banyak pihak terlibat, dan efeknya bisa membuat orang salah bertindak. Ini sebabnya, kita juga sering mendengarkan komentar-komentar orang yang dilontarkan berbalas-balasan, sehingga seringkali emosilah yang lebih dominan, ketimbang materi yang dibicarakan.
Seberapa pahamkah kita dengan apa yang menjadi sasaran kerja kita? Seberapa besar kita meluangkan waktu untuk menjadi lebih ahli dan lebih memahami seluk-beluk permasalahan di seputar profesi dan pekerjaan kita? Tanpa pemahaman, sudah jelas kita tidak bisa bergerak maju. Menyetel radar dan mengatur "kewaspadaan" Dalam suatu rencana perubahan di suatu organisasi, konsultan yang mempresentasikan rencana perubahan menghadapi muka-muka kosong dari peserta rapat. Selain rencana perubahan memang rumit, sang konsultan juga tidak berusaha mengecek apakah peserta rapat paham, tidak paham, atau tidak mau paham dengan apa yang dipresentasikan. Disadari ataupun tidak, dalam berkomunikasi, kita kerap tidak mempedulikan proses pemahaman. Apakah itu pemahaman lawan bicara terhadap "point" yang kita kemukakan, atau bahkan pemahaman kita sendiri terhadap materi yang sedang kita bicarakan. Kalau kita tidak mengundang argumentasi, respons, atau elaborasi dan eksperimen, maka pemahaman kita pun hanyalah monoton, ibarat pohon natal tanpa hiasan dan lampu-lampu.
Pemahaman adalah hasil dari kerja kognitif otak yang sudah lebih canggih daripada sekadar mengindra, memirsa, membaca, karena sudah melibatkan proses persepsi, membuat atribut, mengecek dengan memori, membayangkan, menggolongkan, dan menyimpan informasi di dalam kelompok pengetahuan yang ada di dalam memori sebelumnya. Kita perlu sadari bahwa cara kerja otak kita ibarat lampu yang bisa kita setel dengan dimmer. Kita bisa membuatkan terang sekali, tapi kita juga bisa menyetelnya untuk bersinar redup-redup saja.
Kita bisa memikirkan suatu informasi ibarat orang yang sedang meriset, yaitu mengaktifkan bagian otak untuk mempertimbangkan, membandingkan, menilai, merefleksi dan mengendapkan. Keadaan mental pun bisa kita pasang dalam keadaan waspada dengan "WATT" (Willingness and Ability to Think) tinggi atau dalam keadaan setengah aktif.
Dengan begitu banyaknya agenda dan informasi yang kita terima, kita memang perlu dan harus bisa memilih, apakah mau berpikir keras, biasa-biasa, ringan, bahkan mengambang. Untuk menjadi profesional yang canggih, kitalah yang harus memasang radar untuk menemukan dan mengolah informasi yang bisa membantu kita memperoleh pemahaman yang mendalam di area expertise kita. Sebaliknya, informasi "sampah" kita sortir, sehingga tidak membebani proses kognitif kita, seperti halnya kita mensortir surat penting atau brosur produk yang tidak penting.
Knowing is not enough Di saat-saat perubahan sikap, kebiasaan, dan tingkah laku sangat diperlukan, maka mengangguk-angguk tanda mengerti saja sungguh tidak cukup. Pemahaman bahwa minyak jelantah tidak bisa dicerna dan sangat berbahaya bagi tubuh sudah diketahui banyak orang, namun berapa persenkah orang yang menghentikan jajan gorengan?
Kita sadar organisasi harus diubah, bahkan tahu tidak ada pilihan untuk berubah, namun berapa persen di antara kita yang mulai bangkit, mengubah perilaku dan belajar hal baru? Pemahaman bahwa "manusia" adalah aset terpenting perusahaan sudah tidak diperdebatkan, namun seberapa jauh kita serius menggarap program coaching, mengimplementasikan worklife balance, mengembangkan program pelatihan yang berbobot, dan talent management yang mumpuni?
Paham saja sungguh tidak cukup, apalagi bila pemahaman terus ditindaklanjuti dengan keraguan, ketidakpercayaan diri, dan bolak-balik saja antara hitungan untung dan rugi untuk melangkah lebih jauh. Kita perlu mempertanyakan suatu informasi, mengolahnya, memikirkan penerapannya, melengkapinya dengan eksperimen, sampai menindaklanjutinya dengan perubahan. Hanya dengan cara inilah pemahaman bisa menjadi nilai tambah kognisi dan perbuatan kita.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak