Minggu, 05 Februari 2012 | 11:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anak gadis itu tidak seperti remaja Indonesia pada umumnya. Dia memiliki rambut yang hijau cerah berjuntai hingga pinggang. Beberapa helai menutupi wajahnya. Berjalan dengan sangat anggun, ia mengenakan gaun berwarna hitam berenda putih di bagian lengan, leher, dan dada, layaknya putri di zaman kerajaan Eropa dulu. Pada bagian bawah gaun si gadis memberi aksen kain tembus pandang warna putih yang ditata sedemikian rupa, sehingga menutup rok hitamnya.
Kala berjalan di antara ribuan orang yang ada di sekitarnya, ia kerap berhenti untuk meladeni orang-orang yang meminta berfoto bareng. Bukan satu-dua orang yang ingin foto bersama, tapi ada ratusan orang. Bahkan mereka harus antre untuk mendapat gambar bersama si gadis berambut hijau. Meski lelah harus selalu tersenyum, dia tak pernah menolak permintaan orang untuk foto bersama.
Hatsune Miku nama si gadis, kala itu. Namun ketika gaun berenda itu lepas dari tubuhnya, dia berubah menjadi Alfrina Irene, nama aslinya. Lalu siapa Hatsune Miku?
Dia adalah tokoh anime Jepang ciptaan Crypton Future Media, anak perusahaan Yamaha Corporation, yang bernyanyi dalam video klip berjudul Cantarella. Dan kenapa Irene berubah menjadi Hatsune Miku? Karena dia sedang mengikuti lomba kostum massa atau cosplay dalam acara Festival Budaya Pop Hellofest 8, Sabtu kemarin, 4 Februari 2012.
Irene bukan baru sekali ini mengikuti Hellofest seperti di Balai Kartini itu. Sejak dua tahun lalu dia kerap mendatangi pelbagai festival kostum. Dan karakter anime atau mitashi, mirip artis Asia, yang dibawakannya tidak jauh dari sosok Hatsune Miku.
Kenapa Irene begitu tertarik dengan Hatsune Miku? "Awalnya aku suka suara dan lagu-lagunya Miku. Lama-lama jadi suka karakternya yang keren. Pakaiannya juga bagus-bagus," kata dia.
Irene memang terlihat begitu nyaman berada di balik kostum Hatsune Miku. Dia sangat percaya diri berbincang dengan orang banyak, dan keberaniannya itu baru ada setelah Irene mengenal Hatsune Miku. "Dulu aku pemalu. Aku susah ngobrol sama orang baru, apalagi di depan orang banyak," kata Irene.
Tapi setelah menjelma sebagai Hatsune Miku, "Dia bisa dengan pede-nya melenggak-lenggok di atas panggung atau pose di depan kamera," kata sang ibu, Nana Rivai, yang mendampingi Irene di Hellofest.
Remaja 13 tahun itu sendiri mengenal festival cosplay dari sang kakak, Alf, yang lebih dulu terjun ke hobi berkostum anime ini. Alf, kata Irene, sudah berkostum sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. "Sekarang umur kakak sudah 22 tahun. Dia juga datang ke Hellofest, tapi kami pisah jalan," kata dia.
Dan untuk mengenakan kostum Hatsune Miku, Irene harus merogoh uang jajannya sebesar Rp 1,5 juta. Duit tersebut benar-benar berasal dari tabungan dan uang jajannya selama tiga bulan. "Tempo hari aku menang uang Rp 500 ribu dari lomba cosplay. Jadi kostum ini beli pakai duit itu dan uang jajan." Tanpa uang jajan, Irene pun harus membawa bekal nasi dari rumahnya ke sekolah selama tiga bulan.
Berbeda dengan Irene yang membeli kostum Hatsune Miku, Shina Kiara lebih memilih menjahit sendiri pakaian khususnya itu. Di HelloFest, Shina pun menjelma menjadi Hana, pemeran utama dalam komik Jepang berjudul Gate 7.
Bermodalkan uang hingga Rp 4,5 juta, Shina mendatangi tukang jahit langganannya dengan membawa sketsa kimono yang dia inginkan. Hasilnya pun sangat maksimal. Mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung itu hadir dalam kostum Geisha berwarna merah emas. Untuk rias kepala, Shira mengenakan rambut palsu panjang yang disulamnya seperti konde besar plus hiasan tusuk berwarna emas dan replika bunga teratai.
"Hana itu seorang putri yang berani relakan nyawanya untuk mengusir hal gaib. Saya suka karakter Hana," kata Shira.
Sejak 2003 lalu, mahasiswa semester enam itu kerap mengikuti festival kostum massa. Awalnya dia mengenal cosplay dari komik, Internet, dan teman-temannya. Kini Shina tidak hanya memiliki satu kostum, tapi puluhan jenis. "Harga termurah Rp 700 ribu, paling mahal yang sekarang."
Satu buah kostum, kata dia, bisa dipakai dua atau tiga kali. Satu kali untuk sesi pemotretan, lalu festival, dan lomba. "Sejak mengenal cosplay saya jadi semakin kreatif, wawasan jadi lebih terbuka, punya banyak teman, dan bisa berakting," ujarnya.
Irene sendiri harus mendapat ranking tiap pembagian rapor di sekolahnya. Kalau peringkatnya keluar dari sepuluh besar, sang ibu akan menskorsnya dari dunia cosplay. "Saya dukung hobi dia karena membawa efek bagus. Tapi supaya dia tidak lupa belajar, saya kasih warning berupa skors cosplay kalau tidak mendapat ranking," ujar Anna.
CORNILA DESYANA