Pelestari Tenun Ikat Pemberdaya Perempuan – Bagian I

KLIK UNIC
www.klikunic.co.cc
Pelestari Tenun Ikat Pemberdaya Perempuan – Bagian I
Feb 18th 2012, 05:24

KOMPAS.com – “Kami bukan perajin. Saya selalu bilang itu pada media, pada ibu menteri dan duta besar. Tenun ikat adalah seni bernilai tinggi, identitas budaya bangsa bernilai folk art. Pekerjanya adalah artist, seniwati bukan perajin,” tutur Alfonsa Raga Horeng, STP, perempuan yang lahir dan besar di desa Nita, kabupaten Sikka, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Alfonsa adalah sosok perempuan inspiratif dari Indonesia timur yang berani bersuara lantang memperjuangkan tenun ikat, benda seni warisan leluhurnya yang tak menarik perhatian generasi muda. Keinginan perempuan kelahiran 1 Agustus 1974 ini tak terbendung sejak 2002 untuk memelajari tenun ikat. Kemudian mendokumentasikan proses pembuatan tenun ikat khas Flores.

Atas upayanya dan intelektualitasnya, Alfonsa tak hanya berhasil menggandeng kembali generasi muda Flores untuk kembali mencintai tenun ikat bernilai adat. Anak sulung dari dua bersaudara ini juga kerap melakukan perjalanan ke luar desanya, menghadiri undangan berbagai kegiatan di Jakarta hingga terbang ke Amerika dan Eropa, bicara di forum dunia mengenai tenun ikat dari Flores.

Menggali ilmu tenun ikat
Perempuan berlatar pendidikan tinggi teknologi pertanian ini pantang menyerah mendatangi satu per satu perempuan penenun di kampung halamannya. Ia belajar menenun dari generasi tua yang disebutnya guru, maestro, profesor tenun. Ia menjelajah sejumlah desa di Sikka, untuk mendalami ilmu tenun ikat yang ia yakini takkan mungkin didapatkan di belahan dunia mana pun.

“Kaum ibu usia 45 hingga nenek 90 tahun adalah tempat belajar saya. Mereka adalah maestro tenun, para profesor,” jelasnya saat berbincang bersama Kompas Female di sela kegiatannya di pameran kain tradisional unggulan nusantara, Adi Wastra Indonesia, Jakarta Convention Center, Jumat (17/2/2012).

Sebutan guru juga profesor sengaja diciptakan Alfonsa, untuk membesarkan hati kaum perempuan yang teguh mempertahankan akar budaya. Baginya, perempuan pelestari kain tenun ikat membutuhkan dukungan untuk terus mencipta kain adat (kain yang dipergunakan untuk upacara adat) ini. “Ibu yang masih menenun, memiliki alat tenun tradisional di rumahnya, memakai sarung di rumah, adalah contoh bagi anak-anaknya,” ungkapnya.

Kepada kaum ibu di Sikka inilah Alfonsa berguru, menggali proses menenun, termasuk meramu pewarna alam dari tumbuhan, juga memahami makna di balik aneka motif kain adat. Namun ia tak sekadar belajar dan mempraktikkan proses menenun. Kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya, diwujudkannya dalam aksi nyata. Alfonsa mencatat rapi semua ilmu yang didapatinya dari sang guru, mendokumentasikan, dan membuat standar warna dan motif kain tenun ikat.

Kontribusi Alfonsa terhadap pelestarian kain tenun ikat tak berhenti sampai disitu. Ia bahkan mampu menemukan kekurangan dari setiap tenun ikat yang dibuat secara tradisional. Namun ia tak hanya mencari masalah, tapi juga memberikan solusinya. “Warna kain tenun tidak sama, motif pecah, saya menemukan ini pada kain-kain adat. Kualitas tenun dipengaruhi proses pembuatannya, bagaimana postur tubuh penenun juga memengaruhi, tarikan saat menenun apakah halus atau kencang, teknik yang berbeda berdampak pada hasil akhirnya. Itulah sebabnya saya membuat gugus kendali mutu,” jelasnya.

Mementingkan kualitas
Kualitas kain tenun ikat, kata Alfonsa, harus terjaga mulai dari benang pemintal, pewarna alam, orisinalitas motif. Kain tenun ikat yang berkualitas adalah kain yang punya karakter tanah leluhur, imbuhnya.

Kain tenun ikat berkualitas punya nilai tinggi. Kadang, nilai inilah yang dikesampingkan oleh penenun lantaran hanya mengejar waktu pembuatan. Padahal, katanya, kain tenun ikat sepanjang tiga meter dengan lebar 100 cm dengan kualitas tinggi memiliki nilai yang sama dengan seekor kuda.

Kain tenun ikat yang merupakan kain adat, juga merupakan pemberian calon pengantin perempuan kepada calon pengantin laki-laki. “Dulu, secara adat, kain tenun ikat buatan pihak perempuan ditumpuk 10 susun, untuk kemudian pihak laki-laki memilihnya. Namun kini, biasanya pihak perempuan langsung memberikan kain tenun ikat kepada pihak laki-laki,” jelasnya.

Alfonsa tak hanya giat memelajari seluk beluk tenun, dan menjadikannya dirinya bagian dari seniwati Flores dan mencipta kain tenun ikat buatan tangannya sendiri. Ia juga mahir berkomunikasi lintas generasi. Alfonsa tak canggung berbicara tegas kepada generasi di atasnya, apalagi menyangkut kualitas tenun. Meski begitu, ia juga tahu bagaimana mengambil hati orang lain di sekitarnya.

“Saya keras dengan penenun. Kesadaran penenun mengenai nilai kain tenun ikat juga perlu dibangun kembali.” ungkapnya. “Tenun dibuat dengan disiplin tinggi dan ritual. Tenun, jika disimpan akan bernilai tinggi. Selama adat masih ada tenun masih dibutuhkan. Namun tenun tak ada penerusnya. Padahal tenun adat dapat dijual dengan harga tinggi,” kata Alfonsa menyontohkan bagaimana ia memberikan motivasi.

Usaha Alfonsa membuahkan hasil. Pada 2006 ia berhasil mendokumentasikan kain tenun ikat. Generasi muda dan tua mulai aktif menenun dengan merepro motif yang sama, sarat nilai filosofi, dan punya pesan adat. Penenun juga tak lagi mengeluhkan proses pembuatan tenun ikat yang memakan waktu panjang, delapan hari untuk proses menenun dan total satu tahun proses keseluruhan. Satu helai kain tenun ikat sepanjang tiga meter juga tak dibuat sendirian, melainkan melibatkan hingga lima orang.

Kaum perempuan memiliki aktivitas bermakna dengan sentuhan Alfonsa. Bukan sekadar membuat kain tenun ikat sebagai hobi atau sekadar memenuhi kebutuhan keluarga, untuk acara pinangan juga saat anggota keluarga meninggal. Namun lebih memaknai tenun ikat sebagai warisan budaya yang harus dipertahankan keberadaannya.

Alfonsa, memimpin STILL atau Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun di desanya. Sentra tenun ikat ini tersebar di 17 desa di Sikka, dengan 863 penenun aktif, yang diangkat derajatnya oleh Alfonsa dengan sebutan seniwati. “Kebanyakan kaum ibu yang tak mengenal aksara, namun mereka bisa menghasilkan kain tenun ikat yang indah,” tuturnya.

Penenun adalah perempuan yang memiliki pribadi keras, tegas, tangkas dan pantang menyerah. “Mereka yang tidak pernah menenun, mungkin akan mudah menyerah saat menghadapi masalah. Tapi penenun, mereka pribadi yang kuat,” tandasnya.

(Lanjut ke bagian II)

p 89EKCgBk8MZdE Pelestari Tenun Ikat Pemberdaya Perempuan   Bagian I

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post