Oleh : Nawa Tunggal
Efek brain plasticity, semacam perbaikan sel-sel otak, merupakan hasil yang diharapkan dari pengobatan medis bagi penderita gangguan jiwa. Psikoterapi, termasuk terapi seni, sangat penting untuk menunjang terjadinya efek tersebut.
”Obat membantu secara kimiawi terjadinya pemulihan sel-sel otak. Adapun psikoterapi, seperti terapi seni, dibutuhkan untuk memberi isi pikir yang positif,” kata psikiater Margarita M Maramis dari Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya, akhir Juli lalu, dalam seminar mengenai gangguan bipolar di Jakarta.
Gangguan bipolar merupakan gangguan otak yang ditandai dengan perubahan mood (perasaan), pikiran, energi, dan perilaku. Itu berbeda dengan skizofrenia, yang menurut Margarita juga merupakan gangguan otak, tetapi lebih memengaruhi isi pikir, seperti adanya halusinasi, ilusi, dan delusi.
Pada prinsipnya, bipolar dan skizofrenia membutuhkan farmakoterapi dan nonfarmakoterapi. Farmakoterapi alias obat diberikan oleh psikiater.
Adapun nonfarmakoterapi dilakukan lewat psikoterapi dan psikoedukasi. Psikoterapi adalah pemberian aktivitas tertentu, sedangkan psikoedukasi meningkatkan kesadaran pasien untuk mengatasi gangguan penyakitnya dan menurunkan stigma.
”Keduanya bermanfaat agar pasien mengerti cara terbaik berhubungan dengan keluarga, pasangan, dan masyarakat dalam membentuk kehidupan mereka,” kata Margarita.
Keseimbangan
Ahli psikologi klinis Monty Prawiratirta Satiadarma dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, menyebutkan, menjaga keseimbangan hidup memerlukan saluran. Terapi seni merupakan salah satu saluran. ”Fantasi penderita skizofrenia ataupun bipolar sangat luar biasa. Jalur seni rupa paling bisa mewadahi,” ujar Monty.
Ia mengatakan, terapi seni merupakan bagian penting untuk pemeliharaan kesehatan, tetapi di Indonesia masih sedikit dijalankan.
Seni sebagai kegiatan untuk mengekspresikan diri atau pengalaman. ”Untuk menjalankan terapi seni, kemampuan diagnostik menjadi sangat penting,” paparnya.
Seni rupa tiga dimensi lebih tepat diterapkan bagi mereka yang didiagnosis mengalami gangguan mental serta motorik. Seni rupa tiga dimensi seperti membuat patung dengan tanah liat atau adonan kertas (paper clay).
Diagnostik dapat dilakukan dengan mengamati hasil karya lukis pada dua dimensi. Misalnya, penderita menggambar bentuk setan karena ada gambaran setan dalam pikirannya.
”Dengan terapi seni, kita ajak penderita mengubah isi pikiran, di mana gambaran setan diubah jadi malaikat,” katanya.
Seni inklusif
Dalam diskusi Indonesian Street Art Database, akhir Juli, dua narasumber, Khairani Barokka dan Hana Alfikih, membicarakan terapi seni dan kaitannya dengan disabilitas.
Sebagai advokat seni inklusif, Khairani memaparkan, terapi seni mengubah keadaan diri seseorang dari kurang baik menjadi lebih baik. ”Seperti seni grafiti (street art) untuk mencurahkan isi hati mampu menjadi kegiatan self healing (penyembuhan diri),” katanya.
Khairani menyatakan, sangat sedikit pendidikan psikologi yang memasukkan terapi seni untuk orang-orang dengan disabilitas. Program pemerintah juga masih minim untuk pengembangan terapi seni.
Hana mengungkapkan, seni menjadi bagian penting sejak kecil, terutama ketika ia mengalami halusinasi yang menimbulkan berbagai gangguan, seperti keinginan untuk bunuh diri dan rasa takut terhadap halusinasinya.
Dari psikiater, lanjut Hana, ia mengetahui dirinya mengalami skizofrenia. ”Saya mengalahkan ketakutan saat itu dengan mencoret-coret dinding di kamar,” ujarnya.
Keinginan bunuh diri pun dapat ia redam meski dengan menyakiti diri sendiri. Menyakiti diri sendiri itu belakangan diekspresikan Hana dengan menato beberapa bagian tubuhnya, terutama lengan kirinya.
”Tato-tato ini dikerjakan selama 11 kali. Bukan untuk keindahan, melainkan muncul ketika ada keinginan untuk menyakiti diri sendiri,” ujarnya.
Menato kulit memang bukan bagian dari terapi seni. Menurut Monty, itu metode pengalihan rasa sakit dengan memindahkan layar proyeksi ke dalam kanvas tubuhnya.
”Ketika tato itu untuk menyakiti diri sendiri, yang perlu dilihat, mengapa muncul keinginan untuk menyakiti diri sendiri?” kata Monty.
Minimnya pengembangan terapi seni dapat dilihat dari agenda pemerintah yang tidak sensitif terhadap fungsi seni. Pemerintah lebih mengutamakan masalah kognitif dan persoalan religi.
”Kita mengalami dehumanisasi yang juga sekaligus denaturalisasi,” tutur Monty.
Secara umum, seni mengutamakan unsur keindahan dan memiliki arah afektif atau mengasihi. Seni juga mendekatkan manusia dengan alam. Seni menjadi jembatan antara dunia luar dan dunia dalam (batin).
Pengabaian seni menimbulkan dehumanisasi, yaitu makin merendahkan martabat atau nilai kemanusiaan, juga denaturalisasi, yang tampak nyata dengan upaya penghancuran alam oleh manusia.