KOMPAS.com - Bagi Ryan Clift, makan malam istimewa haruslah mengandung kejutan yang sulit dilupakan. Masakan tak sekadar harus lezat, tetapi juga bisa membuat penikmatnya merekahkan senyum lebar. Bila perlu, hingga tertawa tergelak-gelak....
Ryan Clift merupakan salah satu chef atau juru masak yang diperhitungkan di dunia dengan jam terbang yang dijajakinya sejak usia belia. Setelah malang melintang di berbagai restoran terkenal di dunia dan meraih sederet penghargaan prestisius, sejak 2008 Ryan mengelola restoran The Tipling Club di Singapura. Restoran itu pada tahun 2011 tergolong dalam sepuluh restoran terbaik di Asia oleh Miele Awards.
Pada pergelaran Jakarta Culinary Festival 2012 kali ini, Ryan diundang untuk menghidangkan serangkaian masakannya di Restoran The Nest Grill, di kawasan Kuningan, Jakarta.
Selepas petang, tamu baru mulai berdatangan. Setiap tamu akan menikmati sepuluh macam hidangan mulai dari pembuka hingga penutup. Walau terdengar banyak, tak perlu khawatir kekenyangan. Sebab, porsi seluruh hidangan akan disajikan dalam ukuran mungil. Porsi demikian, seperti halnya mazhab nouvelle cuisine dalam dunia memasak dan penyajian, yang menekankan pada kesederhanaan.
Kejutan kecil dari Ryan rupanya sudah dimulai sejak hidangan pembuka yang mirip camilan, yakni berupa wasabi "gosong", potongan kentang dengan saus kekuningan yang asam segar, dan telur puyuh dengan penampakan mirip sebutir anggur ungu. Ryan sepertinya ingin memberi awalan segar yang tipis dalam hidangan pembuka ini.
Intensitas kesegaran lebih digenjot dalam hidangan pembuka berikutnya, yakni tiram dingin yang segar dalam genangan minyak zaitun. Di tahap ini, selera makan seperti diangkat melalui rasa asam segar yang menyapa lidah. "Oyster (tiram) Perancis ini didatangkan dalam keadaan hidup sehingga benar-benar segar," kata Eunike dari The Nest Grill.
Kejutan masih berlanjut ketika foie gras gluhwein hadir. Ini tampaknya salah satu mahakarya ala molecular gastronomy yang dipraktikkan Ryan. Foie gras atau hati angsa, yang biasanya tampil "asli", di tangan Ryan berubah layaknya mousse dingin dengan potongan seperti pipa paralon. Dari dalam rongga "pipa" meluncur cairan gluhwein atau glogg, yakni anggur merah hangat bercampur rempah, seperti kayu manis, vanili, cengkeh, dan bunga lawang. Begitu lembutnya mousse hati angsa ini hingga seorang pengunjung malah sempat mengiranya es krim walaupun tidak bersuhu sedingin es. Mousse meleleh perlahan saat dibekap kehangatan lidah. Jejak rasa hewani pupus tuntas.
Hidangan hangat mulai dihadirkan Ryan melalui sup dengan beberapa butir gnocchi (semacam pasta) yang disiram kaldu wortel yang manis gurih. Kaldu wortel ini baru dituangkan saat piring sup tiba di meja pengunjung. Sup terasa menyenangkan karena tak sekadar mengaliri lidah penikmatnya. Kita diajak menghayati kenyalnya gnocchi dan legitnya kacang pistachio. Meskipun tak ada kompleksitas rasa, sup yang sederhana ini begitu mudah merebut hati.
Cita rasa yang lebih pekat mulai ditawarkan pada tiga hidangan utama berturut-turut, yakni ikan cod, kingfish, dan burung dara. Ryan sepertinya memperhitungkan tempo dalam mengangkat kepekaan lidah mencecap rasa. Hingga babak pertengahan, indera pengecap dibuat siap dengan permainan yang lebih intens. Ikan cod dengan asin tipis dipadukan dengan remis, tomat, dan kacang-kacangan yang gurih. Kesegaran ikan cod ini terdeteksi dari kelenturan dagingnya di setiap gigitan. Keistimewaan sajian utama urutan pertama ini sayangnya tak terlalu tampak pada hidangan yang kedua, yakni kingfish, yang sedikit meninggalkan sentilan rasa getir.
Menghibur
Burung dara menjadi penghibur yang sangat menyenangkan bagi pengunjung malam itu. Burung dara ini dipadukan dengan artichoke yang dibakar sedikit dan daun nasturtium segar. Penampilan cantik berupa warna hijau segar daun nasturtium dan potongan burung dara kecoklatan sepadan dengan cita rasanya yang juga memikat.
Kendati jamuan ini dikemas fine dining, beberapa pengunjung tampak tak ragu mengisap-isap potongan tulang terakhir dari burung dara. Rasa gurih asli dari burung dara dibiarkan tampil menonjol tanpa perlu gempuran rempah kompleks sebagai pemoles.
"Sejauh ini favorit saya, burung dara!" ujar Ivena, salah seorang pengunjung.
Kebahagiaan pengunjung malam itu berlanjut dengan kejutan dari hidangan penutup. Musik yang dimainkan di restoran pun terdengar bertempo lebih cepat. Pelayan kemudian menghidangkan tiga macam menu dalam potongan keramik yang difungsikan sebagai piring saji. Perwujudan yang aneh itu membuat ekspresi wajah pengunjung tampak antusias. "Makannya dimulai dari yang kiri ke kanan. Ini meteor, 'ecstasy', dan fizz bomb," tutur seorang pelayan.
Meteor yang dimaksud mirip cokelat truffle dengan warna hitam dan permukaan kasar. Dalam sekali suap dan gigitan, meteor ini seperti meledak dalam rongga mulut dengan menyemburkan cairan gel stroberi lembut, manis segar. Sementara yang disebut "ecstasy" ternyata cheese cake yang dibentuk seperti butiran-butiran pil psikotropika. Sebagian besar pengunjung tampak tertawa-tawa saat menikmatinya. Butiran-butiran "ecstasy" itu ditenggak langsung dari tabungnya.
Kejutan belum berhenti hingga menu fizz bomb yang dikemas mirip kantong silica gel. Makanan ini dilahap berikut kemasannya. Begitu hinggap di permukaan lidah, ledakan rasa asam kecut langsung menggempur. Wajah sebagian besar pengunjung pun dibuat lucu oleh fizz bomb. Gelak tawa renyah terdengar dari meja-meja pengunjung. Semua tampak berbahagia.
"Bersantap itu sepatutnya menjadi pengalaman yang menyenangkan, seperti halnya petualangan," ujar Ryan Clift yang malam itu dibantu juru masak Arnold Poernomo dari The Nest Grill.
Ryan Clift memang tak sekadar juru masak, tetapi juga penghibur ulung yang menjadikan masakan sebagai medianya.
(Sarie Febriane)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini