"Coaching" Anak Buah Bukan Hanya Tugas Staf HRD

Karir - Kompas Female
http://4skripsi.blogspot.com/
"Coaching" Anak Buah Bukan Hanya Tugas Staf HRD
Oct 11th 2012, 10:50

KOMPAS.com - Seorang teman, dikunjungi oleh "career coach" dari kantor pusatnya di luar negeri. Mereka ngobrol mengenai masa depan karier yang bersangkutan. Di ujung diskusi, teman saya menyatakan sesuatu yang membuat sang coach terperangah. Ketika sang coach menanyakan apa yang dibutuhkan oleh teman saya untuk mendukung kariernya, ia meminta agar salah satu anak buahnya diperhatikan. Teman saya dengan serius mengatakan: "Karyawan ini harus dikembangkan".

Ia bahkan "separuh mengancam" dan memberi alasan bahwa kalau anak buahnya itu tidak diperhatikan, maka perusahaan tidak bisa mendapatkan manfaat dari si karyawan ini. Mengapa sang coach begitu surprise? Ia mengatakan bahwa di seluruh organisasi, baru kali ini ia mendengar ada orang yang tidak memikirkan dirinya sendiri saja, tetapi juga anak buahnya.

Kita tentu bertanya-tanya, apakah gejala kurangnya concern atasan ke anak buah ini sudah menjadi umum? Inikah penyebab kelangkaan tumbuhnya pemimpin? Padahal, kita tahu persis ungkapan: "Orang hanya bisa berkembang menjadi leader, kalau dia bisa dan berhasil mengembangkan anak buahnya". Ini berarti tidak hanya pengembangan diri anak buah yang tidak tersentuh, namun para atasan ini sendiri pun tidak berkembang menjadi pimpinan yang efektif.

Banyak kita mendengar pejabat atau pimpinan yang sudah terlalu sibuk sehingga pengembangan anak buah dan sumber daya manusia di sekitarnya seolah bukan urusannya. "Terlalu banyak substansi lain yang harus diurus. Biarlah pengembangan bawahan diurus oleh 'ahlinya'".

Ya, tidak sedikit orang lepas tangan dan menganggap ini adalah tugas dan tanggung jawab divisi sumber daya manusia, tidak termasuk dalam job description sebagai pimpinan. Bukankah jarang kita mendengar pejabat tinggi melakukan mentoring atau coaching, serta secara langsung memperbaiki kesalahan dan mengarahkan bawahan yang dilakukan dengan fokus untuk pengembangan bawahan? Apakah substansi bisnis, politik, proyek yang demikian kompleksnya, menyebabkan minat terhadap perkembangan anak buah sebagai aset terpenting ini tersisihkan?

Memang kita bisa melihat satu-dua leader akan tumbuh sendiri dengan cara yang tidak disadari organisasi, namun bukan produk organisasi yang memang berniat menciptakan leaders secara massal. Tidakkah kurang tumbuhnya penerus yang "kuat" di masa depan tidak dilihat sebagai ancaman yang serius?

Bermain manusia
Sumber kesalahan kita, bila kita mengeluh tentang langkanya kepemimpinan, adalah karena kita sendiri kurang banyak berminat pada manusia. Meski dalam keseharian kita berkomunikasi, bergaul, berempati, namun seberapa jauh kita siap untuk menggarap perkembangan orang lain? Apakah kita betul-betul berminat dan antusias untuk mengkotak-katik mindset-nya, habit-nya, ke-"bisa"-annya, sikapnya, mimpinya, sampai anak buah betul-betul mempunyai peluang untuk maju?

Kita melihat saat ini banyak perusahaan mengembangkan penilaian kinerja online, di mana semua analisa, penghargaan, pujian, ataupun teguran dilakukan oleh pimpinan pada anak buahnya secara tertulis. Hal ini memang efisien, tetapi pertanyaannya, apakah kita cukup mempunyai feel terhadap anak buah, mendeteksi potensi dan kompetensinya, mencatat perkembangan dan aspirasinya, bila tidak bicara dari hati ke hati? Padahal kita semua mengerti bahwa bila ada kesenjangan hubungan hati antara atasan dan bawahan, mustahil kita bisa melahirkan bibit-bibit leader yang baru secara produktif.

Membina bawahan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan membina pemain sepakbola. Pertama-tama, kita perlu memandangnya sebagai suatu fenomena yang menyenangkan. Bagaimana tidak? Ada praktek, ada standar, harapan, dan agenda yang berbeda-beda di setiap individu. Permainan ini pasti melibatkan friksi, miskomunikasi, dan pembinaan rasa percaya. Ini memang permainannya, tidak mungkin dihindari. Hanya dengan penguasaan ini, anggota tim akan merasakan passion dan terlepas dari sense of duty yang berat.

Kita sering mendengar alasan seseorang keluar dari tempat kerjanya karena situasi tidak fun lagi. "Fun" seperti inilah yang perlu diciptakan seorang bermental coach di lingkungan kerjanya. Individu dalam kelompok perlu merasakan bahwa ia dituntut untuk menjadi "a better player" yang membutuhkan kemampuan problem solving, bersaing, dan  menciptakan hasil yang memuaskan. Baru dalam situasi inilah, seorang anggota tim akan merelakan waktu luangnya untuk mengerjakan pe-ernya demi penguatan sikap kerja dan kualitas kerja yang lebih baik.

Think: Journey
Kekuatan mental seseorang yang punya keahlian coaching adalah kemampuannya melatih bawahan atau anggota timnya untuk menghindari distraksi, penolakan, kelelahan, dan berkonsentrasi untuk memperpanjang nafas dalam melakukan tugas.

Di sinilah jam terbang seorang pemimpin berperan karena akan lebih mudah baginya untuk membuktikan pada bawahan bahwa ketangguhan akan menjadi jawaban atas kesuksesan bawahan. Seorang bermental coach tahu cara mendampingi individu ketika bertransisi dari satu situasi lama ke baru. Ia perlu mendampingi anak buahnya ketika meng-"oper gigi" dalam berkinerja. Ia pun perlu mengajari time awareness pada anak buahnya, baik awareness yang diukur dengan stopwatch, maupun kalender.

Hal yang juga sangat penting dalam coaching adalah kekuatan mengajarkan pada anak buah bagaimana menyikapi kesuksesan dan kegagalan. Bawahan harus tahu bahwa kariernya adalah perjuangan, karena itu ketangguhan untuk menghadapi pasang-surutlah yang harus dipompakan kepadanya. Sebetulnya prinsip dalam membimbing anak buah simpel saja: "They good, you care. They bad, you care. They fall, you're there."

Orang yang punya passion pada manusia dan rajin dalam membimbing orang lain untuk maju, jarang sekali kita lihat meninggalkan tim atau menikmati hari tua dengan bersedih. Ia pasti terpuaskan melihat hasil bimbingannya, apalagi kalau berhasil menurunkan ketrampilan, pengetahuan, dan melihat anak buah menjadi lebih canggih dalam "bermain" dan ber"taktik". Bukankah kehidupan ini memang mempunyai sifat suksesif? Tidakkah kita ingin meninggalkan hidup dan dikenang sebagai legenda karena keberhasilan mensukseskan orang lain?

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri)

Sumber: Kompas Cetak

Editor :

Dini

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post