Oleh: Runik Sri Astuti dan Dahlia Irawati
Kompas.com - Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sebesar 7,2 persen yang melampaui nasional tak berbanding lurus dengan taraf kehidupan warganya. Orang-orang yang terpasung karena penyakit jiwa masih marak ditemukan. Inilah akibat kemiskinan dan cara pandang yang keliru terhadap penyakit.
Rusdi (50) jongkok di ruang tamu rumah neneknya di Desa Purworejo, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Kamis (18/7). Tangan kanannya menggaruk lantai tanah, sementara tangan kirinya terikat rantai besi pada tiang bambu penyangga atap. Sehelai tikar pandan usang di sampingnya. Itulah yang menjadi teman tidur Rusdi di kala malam.
Aktivitas biologis, termasuk buang air kecil dan besar, dilakukan di tempat yang sama. Mandi sekali sepekan merupakan aktivitas mewah baginya.
Sirah (80), kakak Rusdi, mengatakan, adik kelimanya itu sudah lebih dari 30 tahun hidup terpasung. Waktu lahir, kondisi Rusdi normal. Gangguan kejiwaan dideritanya ketika remaja. "Waktu itu dia pulang kerja dari rumah majikannya. Tiba-tiba tertawa sendiri dan marah-marah. Terpaksa saya ikat supaya tidak melukai orang dan tidak keluyuran," ujarnya.
Di Jawa Timur, orang-orang terpasung seperti ini tersebar di 19 kabupaten, antara lain Ponorogo, Madiun, Pacitan, Magetan, Kediri, Tulungagung, Blitar dan Malang.
Di Kabupaten Ponorogo, misalnya, pada tahun 2013 tercatat 3.000 orang mengalami gangguan jiwa dan 300 orang sudah dalam kategori gila. Dari 300 orang yang gila, sebanyak 78 orang terpaksa dipasung.
Data Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang, menunjukkan, hingga Agustus 2012, terdapat 357 orang terpasung. Tentu saja data itu masih perlu verifikasi ulang. Masih banyak kasus yang belum diungkap karena umumnya keluarga pengidap enggan bersikap terbuka.
Mereka menganggapnya sebagai aib. Pemasungan juga tak lepas dari apatisme pemerintah yang melakukan pembiaran selama bertahun-tahun.
Usia orang-orang yang terpasung beragam, mulai dari 13 tahun hingga 80 tahun. Bentuk pemasungannya pun beragam, seperti dirantai, dibalok, dikerangkeng, dan diisolasi. Kebanyakan pemasungan dilakukan di ruang pengap, seperti kamar kosong, bahkan mirip kandang.
Buruh tani
Sirah adalah anak pertama pasangan Siyem dan Kartomarni, buruh tani di Madiun. Dia memiliki empat adik, tiga di antaranya mengalami gangguan jiwa, yakni Satun (60), Simah (70), dan Rusdi.
Seorang adiknya yang normal telah berkeluarga. Sementara dua adik perempuannya yang mengalami gangguan jiwa pernah berkeluarga, tetapi gagal.
Sepeninggal orangtuanya, Sirah menjadi tulang punggung keluarga yang menghidupi adik-adiknya dengan meneruskan pekerjaan menjadi buruh derep (panen padi).
Dari hasil derep, Sirah bisa membawa pulang gabah basah seperempat sak (10 kilogram-15 kilogram). Setelah dijemur, gabah itu diselep menjadi beras. Supaya cukup untuk makan setiap hari, janda yang tak dikaruniai anak ini harus berhemat dalam memasaknya. Maksimal satu gelas (sekitar 200 gram) per hari.
Setelah menginjak usia lanjut, Sirah tak mampu bekerja. Tenaganya tak lagi kuat untuk mengangkat ikatan padi hasil panen. Alhasil, sehari-hari, dia hanya mengasuh ketiga adiknya yang memerlukan perhatian ekstra.
Untuk menyambung hidup, dia mengandalkan belas kasih para tetangga yang terkadang memberinya gabah. Jika tak ada, dia berutang ke warung. Kini utangnya menumpuk hingga
Rp 1 juta yang tak mungkin mampu dibayarnya. Alih-alih membawa adik-adik berobat, uang untuk makan saja tak ada.
"Yang paling saya takutkan kalau tidak ada makanan, bukan tidak ada obat. Sebab, mereka pasti akan mengamuk karena perutnya lapar," katanya.
Di Pasuruan, sekitar 250 kilometer dari Madiun, juga ditemukan orang terpasung, yakni Adi Saputra (13), anak pertama pasangan Komar (32)-Yuli (30).
Warga Dusun Lampekan, Desa Kedawung, Kecamatan Nguling, ini terpasung di rumah neneknya, Jamiah (52), di kampung nelayan karena dianggap hiperaktif. Adi yang seharusnya menikmati masa kanak-kanak tak diobati dan dibiarkan terpasung.
Nalini Muhdi Agung dari Departemen Kedokteran Jiwa Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan, pemasungan tidak saja melanggar hak asasi manusia, tetapi juga melanggar metode penyembuhan yang tepat bagi penderita gangguan jiwa.
"Seharusnya mereka diobati, bukan diisolasi. Pemasungan dapat menjadikan penyakitnya kronis sehingga peluang untuk sembuh menjadi lebih kecil," katanya. Selain itu, pemasungan mengakibatkan penderita mengalami sakit fisik, terutama di bagian tubuh yang diikat. Lambat laun, organ itu bisa mengecil karena tidak pernah difungsikan.
Menurut Nalini, pemerintah harus punya perhatian serius terhadap mereka. Perhatian itu terutama menyadarkan para keluarga penderita gangguan jiwa supaya tidak melakukan pasung karena lebih banyak dampak buruknya.
Selanjutnya, para penderita ini harus dibawa berobat ke rumah sakit. Ini karena mereka memiliki peluang untuk sembuh dan menjalani kehidupan layaknya manusia sehat.
Membebaskan Jawa Timur dari penderita gangguan jiwa yang terpasung sejatinya tidak sulit, tidak perlu banyak biaya, dan hanya butuh kemauan dari pemerintah daerah. Ini karena para penderita dari keluarga miskin telah difasilitasi melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Jawa Timur juga memiliki sejumlah rumah sakit jiwa dengan fasilitas memadai. Bahkan, Jawa Timur memiliki perguruan tinggi dengan fakultas kedokteran yang bisa diajak bekerja sama.
Inilah salah satu tantangan pemimpin Jawa Timur yang kini bertarung dalam momen Pemilihan Umum Kepala Daerah 2013.