JAKARTA, KOMPAS - Indonesia masuk dalam 25 persen negara di dunia yang tidak memiliki Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Kondisi negara dengan potensi bencana alam paling banyak, karut-marut dalam tatanan sosial dan politik, serta kesejahteraan sosial yang tidak merata seharusnya menjadi alasan cukup untuk memiliki Undang-Undang Kesehatan Jiwa.
Demikian kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Nova Riyanti Yusuf yang juga menjadi Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa (RUU Keswa) Komisi IX, Selasa (9/10), di Jakarta.
Terkait dengan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Ke-20, 10 Oktober 2012, bertema "Depresi: Suatu Krisis Global", Pemerintah Indonesia mencanangkan tema nasional "Depresi Terselubung dan Penyakit Penyertanya".
"Masyarakat selama ini tidak pernah mendapat terapi atau konseling sederhana untuk mengupayakan kesehatan jiwa. Sekarang terkonsentrasi pada kegiatan kuratif bagi penderita yang didiagnosis terkena gangguan kesehatan jiwa," kata Nova.
Manfaat UU Keswa, menurut Nova, antara lain akan memayungi secara hukum kewajiban negara untuk tidak sekadar melaksanakan kegiatan kuratif (pengobatan). Namun, kegiatan juga mencakup upaya promotif (edukasi), preventif (pencegahan), dan rehabilitatif (pemulihan) bagi penyandang gangguan kesehatan jiwa dan masyarakat.
"Sri Lanka mengesahkan UU Keswa dengan alasan banyaknya gangguan kesehatan jiwa pada masyarakat setelah tsunami tahun 2005. Kita pernah mengalami tsunami lebih besar, tetapi belum peduli," kata Nova.
Akhir tahun 2004, tsunami terbesar menghantam Aceh. Akan tetapi, untuk masalah kesehatan jiwa pascabencana belum ada perhatian memadai.
Mengacu tema nasional peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2012, Ketua Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa Indonesia Pandu Setiawan menyatakan, depresi terselubung banyak wujudnya, mulai dari tawuran antar-pelajar hingga menewaskan korban.
"Saat ini masih disusun laporan komprehensif untuk kejadian tawuran antar-pelajar oleh Dewan Pertimbangan Presiden. Saya termasuk yang dimintai pandangan dari sisi kesehatan jiwa," ungkap Pandu.
Pandu mengatakan, legislasi RUU Keswa sudah mendesak. Selanjutnya, diharapkan disusun turunan kebijakan pemerintah yang memuat aturan secara konkret.
Menurut Nova, ada beberapa masalah yang bisa dijadikan tekanan untuk pengesahan RUU Keswa segera. Pertama, adanya pelanggaran hak asasi manusia bagi penyandang gangguan jiwa, misalnya mereka yang dipasung. Kedua, hasil riset yang menyebutkan, membiarkan penyandang gangguan jiwa justru meningkatkan kerugian ekonomi dan sosial. Ketiga, dibutuhkan advokasi atau pembelaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang rentan terhadap gangguan kesehatan jiwa.
"Seperti di Belgia, muncul advokasi terhadap gangguan kesehatan jiwa bagi remaja. Akhirnya, dimunculkan pakta kesehatan jiwa bagi remaja. Kemudian, pakta kesehatan jiwa bagi orang tua," ujar Nova.
Minimnya saluran layanan cepat tanggap (hotline) untuk masalah gangguan kesehatan jiwa saat ini sangat memprihatinkan. Salah satu upaya mengatasi, Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia yang diketuai Bagus Utomo mentransformasikan hotline ke jejaring sosial Facebook bagi penderita dan keluarga serta pemeduli skizofrenia atau gangguan jiwa lain. Orang yang mengalami depresi bisa curhat di Facebook untuk mendapat tanggapan, saran, atau penguatan batin dari mereka yang bergabung dalam akun Facebook terkait. (NAW)