Seorang pasien wanita berusia 50 tahun lebih datang ke unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada hebat mendadak disertai keringat dingin. Keluarga yang mendampingi menyampaikan bahwa suami pasien baru meninggal dunia lima hari sebelumnya.
Keluhan, evaluasi ekokardiografi (EKG), dan peningkatan kadar enzim jantung sesuai dengan manifestasi klinis penderita serangan jantung. Pasien kemudian dirawat di ICCU dan mendapat pengobatan sebagaimana layaknya pasien yang mengalami serangan jantung.
Setelah kondisi stabil, tiga hari kemudian, pasien menjalani pemeriksaan angiografi koroner (kateterisasi jantung). Ternyata tidak didapatkan kelainan ataupun penyempitan pada pembuluh koroner (pembuluh nadi jantung).
EKG memperlihatkan ada pembesaran jantung kiri disertai penurunan kekuatan pompa. Pasien tersebut kemudian didiagnosis mengalami sindroma patah hati.
Definisi
Tidak berlebihan kalau orang yang patah hati digambarkan dengan lukisan jantung yang terbelah. Faktanya, jantung berpotensi mengalami masalah serius karena kondisi patah hati atau kesedihan mendalam.
Dalam terminologi medis, patah hati bukan sekadar masalah seseorang yang mengalami putus cinta, melainkan bisa karena kehilangan seseorang yang sangat dicintai, seperti suami, istri, anak/cucu, atau sahabat karib.
Penyakit berat nonkardiak (masalah primernya bukan pada jantung) juga bisa menjadi pencetus kelainan ini. Fenomena klinis ini dikenal dengan nama stress cardiomyopathy, broken heart syndrome (sindroma patah hati), atau kardiomiopati takotsubo.
Dalam bahasa Jepang, takot- subo adalah nama perangkap yang digunakan para nelayan untuk menangkap cumi-cumi. Diberi nama demikian karena bentuk jantung para penderita menggelembung menyerupai perangkap cumi-cumi.
Kelainan ini 90 persen dialami perempuan, khususnya yang telah mengalami menopause. Para ahli menduga, kejadian pada laki-laki lebih sering dari yang diperkirakan, tetapi tidak terdeteksi karena meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
Mekanisme
Peningkatan kadar hormon adrenalin dan noradrenalin dalam tubuh, yang dicetuskan oleh adanya stres fisik dan psikis berat, merupakan penyebab utama kelainan ini. Dari berbagai laporan disebutkan, kadar noradrenalin meningkat pada lebih dari 75 persen kasus. Peningkatannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar pada penderita serangan jantung.
Peningkatan kadar noradrenalin yang berlebihan dapat memicu terjadinya spasme (kejang), yakni pengecilan diameter pembuluh nadi jantung atau mikrovaskular, sehingga mengganggu pasokan aliran darah ke otot jantung. Hal ini pada akhirnya berpotensi menimbulkan kerusakan otot jantung. Selain itu, noradrenalin yang berlebihan secara langsung bersifat toksik terhadap otot jantung.
Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis diduga ikut mendasari. Seperti halnya penderita shock perdarahan atau penyakit phaeokromositoma yang juga mengalami peningkatan kadar adrenalin dan noradrenalin berlebihan, gangguan fungsi pompa otot jantung atau kelainan EKG sering dijumpai.
Namun, masih belum ada penjelasan memuaskan mengapa yang mengalami gangguan paling berat adalah bagian puncak (apeks) dari ventrikel kiri. Adapun bagian dasar tetap normal sehingga jantung menggelembung seperti perangkap cumi-cumi.
Hipotesis yang ditawarkan adalah, tidak seperti bagian lain di jantung, bagian puncak jantung tidak memiliki tiga lapisan (endokardium, miokardium, dan epikardium) sehingga lebih tipis dan kurang elastis.
Keadaan ini memudahkan penderita mengalami iskemia karena sirkulasi darah pembuluh koroner relatif berkurang dan lebih peka terhadap stimulasi adrenergis. Hal ini diduga berperan terhadap peningkatan sensitivitas bagian puncak terhadap peningkatan kadar hormon adrenalin dan noradrenalin.
Komplikasi
Meski sebagian besar penderita penyakit ini dapat pulih seperti sediakala, komplikasi yang mematikan dapat terjadi. Komplikasi berat yang dilaporkan adalah bengkak pada paru, kelainan irama jantung ganas, shock kardiogenik, disfungsi katup mitral, pembentukan bekuan darah, stroke, hingga kematian. Dengan pengobatan yang tepat, sebagian besar pasien dapat diselamatkan dan pulih seperti sediakala.
Sindroma patah hati perlu diwaspadai. Sering kali para anggota keluarga mengabaikan keluhan penderita kelainan ini karena menganggap hanya respons psikologis wajar akibat kehilangan pasangan hidup atau orang yang amat dikasihi.
Penanganan yang tidak tepat dan cepat dapat mengantar penderita pada masalah yang lebih serius dan terkadang fatal.
Bambang Budiono Kepala Heart and Vascular Center RS Awal Bros Makassar