Lis Andriana, Melayang dengan Bebas

Beranda - Kompas Female
http://4skripsi.blogspot.com/
Lis Andriana, Melayang dengan Bebas
Oct 29th 2012, 19:01

KOMPAS.com - Perempuan bertubuh ramping ini setiap hari menapaki "bukit gantole" di Gunung Mas, Puncak, Jawa Barat. Di pundaknya tergantung ransel berupa parasut seberat 25 kilogram.

Dari hari Senin sampai Minggu, Lis Andriana (29) berlatih sendiri paralayang, terlepas udara cerah atau berkabut, hujan atau berangin. Nyaris tak ada hari tanpa latihan.

"Saya berlatih setiap hari dari jam sepuluh pagi sampai menjelang maghrib," kata Lis yang ditemui di sekitar perkebunan teh Gunung Mas, Senin (22/10).

Artinya, dalam sehari ia melakukan sekitar 10 sampai 12 kali "terbang" untuk latihan ketepatan mendarat. Setelah mendarat di titik yang menjadi target, ia melipat parasutnya, kemudian naik angkot kembali ke kaki bukit gantolle, mendaki lagi, membuka dan merapikan parasut, dan terbang lagi. Begitu seterusnya.

Lis menetapkan standar latihan yang keras untuk dirinya. Itu bukan sekadar demi pembiasaan fisik dan keterampilan yang umum dituntut pada seorang atlet. Namun, dia sudah melebur ke dalam olahraga ini secara total. Paralayang adalah jalan hidupnya.

Sampai-sampai ia merasa semua masalah akan "hilang" jika dia melayang-layang di udara. Bahkan ketika diberi waktu libur pun oleh pelatih, dia tetap terbang. Kenikmatan apa yang diperolehnya dari paralayang? "Saya merasa bebas.... Di atas kadang saya suka ngomong sendiri. Bisa teriak-teriak, nyanyi-nyanyi. Semua kelihatan indah dari atas...," kata Lis.

Orangtua tunggal
Ketika kembali menjejak daratan, Lis harus berhadapan dengan kenyataan yang tak selalu indah. Jadwal latihan dan pertandingan yang sangat padat membuatnya harus sering berpisah dengan ketiga putrinya yang berusia 11, 7, dan 4 tahun. Mereka tinggal bersama kedua orangtua Lis di Kutai Barat, Kalimantan Timur.

"Kadang saya harus meninggalkan mereka selama berbulan-bulan. Seperti ketika masuk pelatnas, saya meninggalkan anak-anak sampai tiga bulan," kata Lis.

Ini bukan hal mudah bagi orangtua tunggal seperti dirinya, yang otomatis menjadi tulang punggung keluarga. "Tapi yang paling berat itu ketika saya enggak bisa melihat mereka tumbuh. Terutama dengan yang paling kecil, Nazwa. Dia harus saya tinggal latihan waktu usianya baru 5 bulan. Ketika saya pulang dia sudah bisa bilang 'bunda'. Saya hanya bisa nangis. Saya juga enggak melihat dia belajar jalan," lanjut Lis.

Biasanya, ia mengobati rasa kangennya dengan menelepon. "Bisa berjam-jam, terutama sama yang paling kecil. Kebetulan di tim perempuan kita ada juga teman-teman yang sudah berkeluarga. Jadi kami bisa curhat bareng, nangis bareng," kata dia.

Tapi obat yang paling manjur untuk mengatasi rasa bersalahnya adalah meyakinkan dirinya bahwa ia berjuang untuk anak-anaknya dan membuat mereka bangga.

"Sebelum pertandingan, anak-anak saya suka ngomong 'Mama harus menang, ya.' Ini betul-betul memengaruhi saya. Begitu terbang, saya suka ingat wajah mereka dan itu membuat saya semangat. Saya terus bilang dalam hati 'saya harus menang, saya harus menang'...."

Begitu pulang ke rumah, anak-anak Lis paling senang diantar ke sekolah. Di sana mereka "memamerkan" sang ibu kepada guru-guru maupun teman-temannya. "Ini mamaku. Mamaku, kan, juara," kata Lis menirukan perkataan anaknya sambil terbahak.

Dengan pengorbanan yang demikian besar, sementara penanganan bidang olahraga di Indonesia masih karut-marut, Lis toh tetap menaruh harapan besar pada paralayang. Ia mengakui, dengan menjadi juara dunia, dengan meraih banyak medali di pertandingan internasional, ia bukan saja bisa mengharumkan Merah-Putih, tetapi juga meraih bonus yang cukup.

"Ini sama saja dengan pekerjaan. Saya harus berusaha sebaik-baiknya agar memperoleh penghasilan yang baik. Saya ingin olahraga ini bisa menjamin masa depan anak-anak saya," kata Lis.

Kemenangannya di SEA Games 2011 dengan mendulang 4 emas dan dua perak, misalnya, menghasilkan bonus sekitar Rp 900 juta. Uang itu digunakannya untuk biaya latihan, asuransi pendidikan untuk anak-anaknya, dan modal untuk berbisnis.

"Saya bilang sama ayah, 'Pa, karena Lis enggak punya suami, aku serahin semua uang pada Papa. Bikinin aku sesuatu yang bisa menjamin anak-anak tetap sekolah'. Ayah kemudian membelikan ekskavator untuk disewakan," kata Lis.

Paralayang memang bukan olahraga murah. Peralatan termurah berkisar Rp 25 juta-Rp 30 juta. Belum lagi jauhnya lokasi seri kejuaraan dunia. Semua itu membuatnya harus bersiasat. Bonus dari SEA Games digunakan untuk biaya mengikuti seri kejuaraan dunia karena tak ada dana dari pemerintah. Untuk wilayah Eropa, misalnya, Lis harus merogoh kocek sekitar Rp 40 juta per kejuaraan.

"Saya berprinsip bonus SEA Games harus dipakai untuk meningkatkan prestasi," kata Lis yang bertekad mempertahankan titel juara dunia pada tahun 2013.

Naik pohon
Dari tujuh bersaudara, semuanya perempuan, Lis adalah anak keempat. Dari kecil ia dikenal tomboi. "Mungkin karena ayah ingin anak laki-laki." Salah satu keahliannya adalah memanjat pohon, termasuk memanjat pohon kelapa. "Jadi kalau orangtua saya marah dan saya dikejar, mereka tidak bisa menangkap saya. Saya manjat cepat, tapi tidak berani melihat ke bawah," kata Lis yang di kala sekolah kerap menjuarai lomba lari.

Lis belajar paralayang pertama kali tahun 2006, ketika Kabupaten Kutai Barat mencari atlet paralayang untuk Pekan Olahraga Provinsi. Ayah Lis yang pecinta olahraga dirgantara menyuruh Lis belajar paralayang.

"Saya sebenernya takuuut.... Karena saya takut ketinggian. Jadi semalaman saya memikirkan permintaan itu. Sampai akhirnya saya menyanggupi," kata Lis.

Materi yang dipelajari Lis pertama kali adalah mempelajari seluk-beluk parasut dan mengontrol parasut (ground handling). Esoknya, Lis sudah melayang-layang dengan parasut. "Waktu terbang pertama kali saya merem," kata Lis. Setelah seminggu belajar paralayang tingkat dasar, ia langsung bertanding. Hasilnya adalah medali perak.

Tahun 2010 Lis pertama kali mengikuti kejuaraan dunia paralayang nomor ketepatan mendarat. Namun, ia tidak berhasil membawa medali, demikian juga pada tahun 2011. Tahun 2012 ia meraih juara dunia setelah mengikuti empat seri yang berlangsung di Malaysia, Montenegro, Albania, dan seri terakhir di Jerman-Austria.

"Saya beruntung mempunyai orangtua yang sangat mendukung. Kalau orangtua lain mungkin sulit mengizinkan anak perempuannya main paralayang," kata Lis.

Mendung mulai menggelayut. Lis membuka parasutnya. Dengan teliti ia merapikan satu per satu talinya. Dengan sedikit berjingkat ia berlari kecil dan hup..., ia meloncat dari atas bukit. Payung parasut berwarna marun miliknya makin lama makin kecil, menghilang di balik awan....

(Myrna Ratna/Wisnu Aji Dewabrata)

Sumber: Kompas Cetak

Editor :

Dini

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Next Post Previous Post