Oleh Irwan Julianto
Tragis dan ironis. Ketika keluarganya sedang menyaksikan keramaian pesta hajatan pernikahan di rumah tetangga, Rubini (43) justru memilih mengakhiri hidupnya dalam sepi di dapur rumah orangtuanya di RT 002 RW 004, Dusun Selang 4, Kelurahan Selang, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Kamis (4/10).
Perempuan malang ini sudah 25 tahun menikah tanpa memperoleh keturunan. Selama ini ia mengikuti suaminya, Yanto, tinggal di Sragen, Jawa Tengah.
Sejak beberapa tahun terakhir, Rubini mengidap depresi kronis. Depresi membuat dirinya dirawat di Rumah Sakit Jiwa Gracia, Kaliurang, Yogyakarta, selama hampir sebulan. Sebulan terakhir Rubini dirawat di rumah orangtuanya di Selang. "Obat nipun sampun telas," tutur ayah almarhumah, Mulkasi. Ia menceritakan bahwa obat antidepresan yang dibekalkan oleh RSJ Gracia untuk Rubini sudah habis sejak empat hari terakhir.
Menurut Mulkasi, ia sudah berikhtiar mengobatkan Rubini ke dukun. Namun, keluhan sakit di lambung anaknya yang terasa panas dan kepala sakit seperti ditusuk-tusuk tak kunjung hilang.
"Wis embuh, atiku mbundel," Mulkasi menirukan keluhan Rubini bahwa dia sudah pasrah dan hatinya kusut. Sebenarnya, keluhan seperti ini perlu segera diwaspadai keluarga Rubini. Namun, keluarga sederhana ini tak tahu harus bagaimana mencari pertolongan medis. Padahal, Puskesmas Wonosari 2 hanya berjarak setengah kilometer dari rumah mereka dan RSUD Wonosari berjarak sekitar 2 kilometer.
Info kematian Rubini pun segera diperoleh Ida Rochmawati, psikiater RSUD Wonosari, yang amat aktif berupaya menekan angka bunuh diri di Kabupaten Gunung Kidul. Kabupaten tersebut saat ini dinyatakan sebagai wilayah dengan tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia.
Sejak tahun 2011, upaya pencegahan bunuh diri di Gunung Kidul memperoleh dana dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) perwakilan Indonesia untuk pelatihan deteksi dini dan pendampingan kelompok risiko tinggi bunuh diri.
"Saya baru ditelepon seorang perawat di Puskesmas Wonosari 2," kata Ida yang saat ditemui sedang melayani pasien di Poliklinik Jiwa RSUD Wonosari.
Ida mengaku terkejut ketika keesokan harinya diberi tahu bahwa pada hari yang sama dengan kematian Rubini, ada satu lagi warga Gunung Kidul tewas bunuh diri. Korban kedua adalah Abu Sumono (33), warga Dusun Wilayu, Pacarejo, Kecamatan Semanu. Abu tewas setelah menerjunkan diri ke dalam Luweng Grubug sedalam 80 meter. Dikabarkan Abu mengalami depresi dan kesedihan mendalam karena anaknya menuntut dibelikan sepeda motor dan telepon seluler.
Tak hanya di Gunung Kidul, pekan lalu, seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Surabaya, Jawat Timur, mencoba bunuh diri karena penyakit sering kejang yang membuatnya depresi. Di Denpasar, Bali, seorang pasien sakit paru di Rumah Sakit Wangaya ditemukan tewas setelah memotong urat nadi tangannya. Sementara itu, seorang perempuan menabrakkan diri di Jalan Tol JORR ruas TB Simatupang, Jakarta.
Tragedi dan statistik
Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, pernah menyatakan bahwa kematian satu-dua orang boleh jadi adalah tragedi, tetapi ratusan, ribuan, apalagi jutaan orang akan menjadi statistik belaka. Kematian tragis Rubini, Abu Sumono, dan beberapa lainnya dapat dikatakan sebagai tragedi, tetapi bagaimana jika diprediksi setiap hari ada 150 orang bunuh diri karena depresi di Indonesia? Dalam setahun jumlah orang bunuh diri mencapai 50.000 orang! Adakah ini menyiratkan kegentingan bagi kesehatan jiwa di Indonesia?
Tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan, kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia 24 kematian per 100.000 penduduk. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, diperoleh angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri.
Data ini pernah diungkapkan A Prajitno, Guru Besar Emeritus Psikiatri Universitas Trisakti, dalam Simposium Nasional Bunuh Diri, di Surabaya, April 2009. "Data itu, menurut hemat saya, terlalu tinggi untuk Indonesia. Angkanya begitu tinggi karena ada depresi massal di Aceh pascatsunami akhir 2004. Di Gunung Kidul, angka bunuh diri tinggi, 9 per 100.000 penduduk. Hal ini karena selama tiga dekade terakhir ada yang merasa tertinggal oleh laju pembangunan. Angka bunuh diri di Jakarta lebih rendah daripada Gunung Kidul, 5,8 per 100.000 orang tahun 1995-2004. Ini karena pelaporan di Jakarta baik," kata Prajitno yang memperoleh gelar doktornya dengan disertasi tentang bunuh diri di Jakarta.
Menurut Hervita Diatri, psikiater komunitas FKUI/RSCM, angka bunuh diri di perkotaan dan di pedesaan Indonesia relatif sama. Di desa memang masyarakatnya lebih guyub, di perkotaan warganya lebih individual dan persaingan hidup lebih keras, tetapi mempunyai akses lebih baik terhadap informasi dan fasilitas layanan kesehatan.
Depresi, yang merupakan 80 persen penyebab bunuh diri, bukan penyakit menular seperti demam berdarah dengue atau HIV/AIDS. Namun, bunuh diri sebagai pilihan untuk mengakhiri hidup mereka yang putus asa tak sedikit pula yang menimbulkan efek tiru-tiru (copycat).
Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, beberapa tahun terakhir marak modus bunuh diri dengan melompat dari lantai atas mal atau menara BTS. Tahun 1980-an, modus bunuh diri dengan insektisida juga banyak ditiru orang. Di pedalaman seperti Gunung Kidul, pola bunuh diri paling lazim adalah dengan menggantung diri seperti yang dilakukan Rubini atau dengan racun hama tikus.
Mungkinkah bunuh diri di Gunung Kidul dan tempat lain di Indonesia bisa ditekan jika pemerintah dan masyarakat abai dan lalai terhadap pencetus utamanya, yakni depresi?